Perjalanan peradaban memperlihatkan silih berganti pola-pola kepemimpinan yang turut mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh situasi. Dengan kata lain, pola-pola yang diterapkan tidaklah sama persis konsepsi dan aplikasinya namun sangat berhubungan dan dicirikan oleh konteksnya. Makna kepemimpinan barulah dapat dinilai secara wajar di dalam konteksnya.
Di dalam konteks masa kini, apakah dan bagaimana kepemimpinan yang diharapkan? Hal ini tidaklah mudah dijawab, antara lain karena dua hal: - Persoalan yang dihadapi masyarakat kini demikian kompleksnya, membingungkan dan tidak cukup mudah melihat korelasinya dengan jenis kepemimpinan tertentu. Seandainya masalahnya cukup jelas untuk dijawab, mungkin tidaklah sulit memilih pemimpin.
- Masalah kepemimpinan itu gampang-gampang susah. Tanpa pemimpin yang spesifik pun masyarakat ini, bagaikan organisme, dapat berkembang dengan kemampuan adaptasinya terhadap perubahan dan perkembangan yang ada. Namun karena perkembangan yang diharapkan adalah dengan tidak membiarkan permasalahan menuju fatalisme maka “mengawal peradaban” adalah pilihannya.
Persoalan yang selalu muncul dalam kepemimpinan adalah membuat pilihan hidup bersama dalam tatanan yang membawa perubahan. Sekalipun demikian hal itu tidaklah selalu menjadi satu-satunya pilihan yang tepat karena kepemimpinan adalah gejala sosial yang rentan terhadap kecenderungan korupsi, manipulasi dengan pola relasi kekuasaan yang timpang maupun hirarkis dengan gap yang kaku. Individu maupun kelompok yang dominan cenderung berkeinginan melanggengkan kepemimpinannya dan imbas dari kecenderungan manusiawi itu adalah konflik, kekerasan, manipulasi, dan lain-lain. Sejarah dunia maupun sejarah persekutuan manusia tertentu (= gereja) memperlihatkan hal itu dengan ekses-ekses, baik yang dapat dilihat secara kasat mata maupun terselubung dengan rapatnya di dalam struktur dan sistem yang ada.
Gelutan ini membawa kita dalam pelajaran dari sejarah yang sangat berharga untuk terus mencari peluang-peluang yang masih ada bagi relasi manusia yang lebih bermartabat dalam perspektif apapun.
Menelisik definisi-definisi kepemimpinan secara tradisional
Sebagai suatu gejala sosial maka muatan substansi maupun bentuk kepemimpinan cukup bervariasi. Contoh yang dapat dilihat dengan gamblang adalah banyaknya definisi yang dibuat oleh akademisi berhubungan dengan sudut pandangnya. Stogdill (1974: 259) menyimpulkan bahwa terdapat hampir sama banyaknya definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Lebih lanjut, Stogdill (1974: 7-17) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai konsep manajemen dapat dirumuskan dalam berbagai macam definisi, tergantung dari mana titik tolak pemikirannya.
Banyak sekali definisi kepemimpinan yang sudah dibuat, misalnya: dengan mengutip pendapat beberapa ahli, Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1977: 83-84) mengemukakan beberapa definisi kepemimpinan, antara lain:
- Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok (George P.Terry).
- Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum (H।Koontz dan C। O'Donnell).
- Kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada suatu keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi ke arah tercapainya sesuatu tujuan (R. Tannenbaum, Irving R. F., Massarik).
Untuk lebih mendalami pengertian kepemimpinan, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi kepemimpinan lainnya seperti yang dikutip oleh Gary Yukl (1996: 2), antara lain:
- Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi (Katz dan Kahn).
- Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan (Rauch dan Behling).
- Kepemimpinan adalah proses memberi arti terhadap usaha kolektif yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Jacobs dan Jacques).
Menurut Wahjosumidjo, butir-butir pengertian dari berbagai definisi kepemimpinan, pada hakekatnya memberikan makna:
- Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti kepribadian, kemampuan, dan kesanggupan.
- Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan pemimpin yang tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.
- Kepemimpinan adalah proses antar hubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan dan situasi.
Dari sudut pandang yang terlihat dapat dicatat minimal tiga hal, yakni:
- Para pakar memperlihatkan bahwa kepemimpinan rentan terhadap dominasi satu orang atau kelompok pada yang lainnya. Kepemimpinan terlalu berfokus kepada figur pemimpin dengan kekuatan mempengaruhi, kekuasaan dan kewibawaan.
- Pada kutub yang lain terdapat kelompok yang dipengaruhi dan mengambil posisi lebih banyak sebagai perespons dari berbagai cara dan gaya kepemimpinan itu. Kelompok ini memang mempunyai kekuatan dan kekuasaan namun dalam mencapai tujuan bersama terlihat pada posisi yang pasif.
- Kepemimpinan berhubungan terlalu erat dengan tiga faktor esensial yaitu : kekuasaan (power) yang selalu didefinisikan sebagai kekuatan, otoritas dan legalitas yang memberikan wewenang kepada pemimpin untuk mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu, kewibawaan (charisma) kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga orang mampu “membawahi” atau mengatur orang lain, sehingga orang tersebut patuh pada pemimpin dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.yang didefinisikan sebagai dan kemampuan (capability) yakni segala daya, kesanggupan kekuatan dan kecakapan ketrampilan teknis maupun sosial, yang dianggap melebihi dari kemampuan anggota biasa. Ketiga faktor dominan tersebut, akan memberikan corak pada tipe atau gaya kepemimpinan seseorang, Makin besar kekuasaan, kewibawaan dan kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin, maka makin besar peluang kepemimpinannya untuk berhasil.
Hal-hal di atas memperlihatkan kecenderungan yang timpang terhadap akses kelompok yang dipimpin dan yang dianggap tidak bisa memimpin dan juga figur di belakang sang tokoh pemimpin.
Dalam konteks Indonesia pun, yang menjadi sentral adalah sang pemimpin dan kepemimpinan itu di back up dengan sangat kaku oleh norma yang sering diperkuat pula oleh formula-formula penghukuman dari pihak transenden atau yang disebut Max Weber sebagai Otoritas Rasional, yaitu legitimasi kepemimpinan yang didasarkan pada otoritas yang berbasis prinsip-prinsip (konsep-konsep) yang rasional (nalar), sebagai basis sistem pengukuhannya dan Otoritas Tradisional, yaitu legitimasi kepemimpinan yang didasarkan pada otoritas pengakuan masyarakat secara tradisional dan melembaga. Sedangkan Otoritas Karismatik, yaitu legitimasi kepemimpinan yang didasarkan otoritas kharisma, sebagai kelebihan kemampuan yang melekat pada seseorang, yang tidak dipunyai oleh orang lain kemudian tenggelam dalam pertarungan internal dengan partai dan lembaga-lembaga legislatif saja. Wakil rakyat disamakan dengan rakyat dan rakyat diposisikan sebagai penonton dalam kancah itu.
Pengaruh kepemimpinan paling dominan terlihat pada fase sebelum dan proses menjadi pemimpinan namun setelah itu pengaruh itu tidak terlalu berpengaruh lagi karena back up yang cukup kuat dari norma dan birokrasi.Lalu yang agak aneh, pola hubungan yang hirarkis disahkan begitu saja dan posisi pemimpin menjadi sangat kuat bukan karena upaya untuk mempengaruhi rakyat dengan pola hubungan dialogis namun oleh tradisi kepemimpinan yang kaku dan baku.
Mencari dari Hasil Refleksi dan Aksi: Adakah Hubungannya dengan Gender?
Dalam bagian ini, tidak ada maksud membuat perbandingan terhadap masa lalu. Yang ada adalah upaya belajar untuk menghayati konteks dengan jujur. Dengan demikian kiprah masa kini tidak terpasung dalam romantisme masa lalu maupun sebaliknya keengganan untuk belajar dari masa lalu sebagai guru yang baik itu.
Dari kenyataan yang di Indonesia, baik secara statistik maupun kualitatif terlihat bahwa kepemimpinan perempuan masih sangat kecil peranannya dalam kehidupan masyarakat. Teridentifikasi minimal dua alasan, yakni bahwa:
- Peluang untuk menguji dan mengasah kepemimpinannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah tertentu saja. Walaupun ternyata sebagian perempuan dapat mengubah tantangan menjadi peluang namun sebagian lain belum bisa keluar dari tantangan itu.
- Kebudayaan dominan memberi mempengaruhi begitu kuat sehingga perempuan menyadari kepemimpinannya pada wilayah-wilayah tertentu saja. Dan tidak tidak menyadari keseluruhan potensial karena aspek internal diri perempuan
Beban-beban itu diklasifikasi Mansur Fakih sebagai berikut:
- Stereotype
- Beban ganda
- Diskriminasi
- Marjinalisasi
- Kekerasan
Sekalipun dalam kenyataan sejarah banyak sekali perempuan yang menjadi pemimpin suku, agama, tokoh kemerdekaan, pahlawan anti penjajahan di daerah-daerah. Terlihat masih terdapat keberatan-keberatan sepihak terhadap kekayaan nilai dan substansi kepemimpinan kelompok yang selama ini hanya dipimpin, sedangkan pada pihak lain kenyataan dunia memperlihatkan bahwa pergumulan dunia tidak cukup untuk dicari jalan keluar hanya dengan kenderungan pola dan kearifan kepemimpinan dari yang selama ini disebut kelompok dominan (keturunan tertentu - raja, bangsawan, dll), kelompok dewasa, masyarakat dari ras, etis, agama, sex tertentu, serta kegagalan di mana-mana karena pola-pola kepemimpinan yang terapkan oleh kelompok dominan bahwa disertai dengan gejala-gejala peghancuran dunia yang baru. Kita sampai pada kesimpulan bahwa: inspirasi dari pengalaman, pengetahuan serta kebijaksanaan kelompok yang selama ini rela dipimpin tenyata harus masuk dalam mainstreaming kepemimpinan di mana-mana. Secara khusus kaum perempuan dari berbagai lapisan, tempat, dan ras dari masyarakat dan juga laki-laki dari lapisan bawah, anak-anak laki-laki dan perempuan, laki-laki dan perempuan yang miskin, dari agama tertentu yang minoritas, dan lain-lain.
Saya sampai pada keyakinan bahwa masalah gender berhubungan erat dengan kepemimpinan. Menurut hasil penelitian beberapa hasil, terdapat bukti-bukti bahwa sekalipun proporsi perempuan dalam posisi-posisi manajer meningkat tetapi tetap saja terdapat keraguan mengenai keahlian kepemimpinan perempuan (Still, 1997) dan laki-laki (khususnya manajer) masih terus mendefinisikan manajemen dalam istilah-istilah laki laki. (Brenner, Tomkiewicz, & Schein, 1989; Heilmann, Block, Martell, & Simon, 1989; Schein & Mueller, 1992).
Sally A. Carless mencatat beberapa hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa perbedaan gender telah merupakan salah satu penghambat posisi perempuan dalam kepemimpinan, antara lain yang dilakukan oleh Bass pada tahun 1990. Kemudian terjadi perkembangan dari hasil studi Slowly pada tahun 1990 serta Eagly dan Johnson yang mampu melokasikan 162 gaya kepemimpinan laki laki dan perempuan.
Oleh karena itu, berbicara tentang kepemimpinan mestilah berbicara tentang hubungan gender. Beberapa hasil penelitian yang dapat membuktikan hal itu misalnya:
1. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam The Asian Pacific American Women’s Leadership Institute (APAWLI) menyatakan dari hasil penelitiannya, bahwa cara-cara yang penting menurut kaum perempuan ini adalah: cara-cara inklusif, kolaborasi, membangun konsensus, kepemimpinan yang didasarkan pada prinsip-prinsip, hubungan dan pelayanan etis. Dimensi-dimensi dari cara memimpin seperti di atas adalah:
- Pengontrolan Diri
- Visi
- Belas Kasih
- Empati
- Kemampuan Komunikasi
- Fondasi Spiritual
- Keterbukaan Menerima Resiko
2. Hasil penelitian Judy Rosener "Ways Women Lead,", yang dikutip Laraine R. Matusak, terungkap bahwa:
that men usually describe themselves in ways that characterize "transactional leaders." They see their jobs as a series of transactions with subordinates in which rewards are exchanged for services. They are more likely than women to use power that comes from their organizational position and formal authority.
Rosener says that women, on the other hand, tend to describe themselves in ways that characterize "transformational leaders." As she interviewed women leaders, she found ways that they tend to share power and information, encourage participation, enhance other people’s self worth, and get others excited about their work. Persons who work with them are encouraged to contribute in order to feel powerful and important.
Dalam perjumpaan yang kontekstual, ternyata terdapat beberapa dimensi baru ditampilkan sebagai hasil dari pengalaman dan refleksi. Secara khusus memposisikan kelompok yang selama ini disubordinasi dan dipinggirkan dalam kancah kepemimpinan masyarakat sebagai kelompok yang memiliki keunikan spiritualitas yang dapat memberikan horison lain tentang kepemimpinan. Terlihat di atas adalah kaum perempuan. Terdapat juga kelompok lain, yakni kelompok masyarakat biasa, masyarakat mskin dan secara khusus kelompok perempuan.
Kelompok ini meliputi 80% dari jumlah penduduk di Indonesia dan daya dukungnya terhadap perubahan masyarakat masih diabaikan malah kenyataannya dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi perusahaan-perusahaan multi nasional dan internasional dan menjaga devisa negara dari sektor industri. Sekalipun, dalam kondisi itu tetap saja perjuangan hak asasi dilakukan namun energi dan kearifan yang ada belum terpakai dalam perkembangan peradaban manusia. Selama ini dieksploitasi sebagai sisi gelap dari peradaban manusia.
Kelompok ini adalah bagian dari realita masyarakat Asia, termasuk Indonesia dan bukan semata-mata tanggung jawab dari kaum perempuan tetapi dari komunitas dengan budaya dominannya. Bagaimana komunitas secara arif memulihkan situasinya kini dengan penggalan-penggalan luka yang belum tentu sudah kering.
Satu hal yang bisa dilaksanakan saat ini adalah belajar dari kelompok ini tentang dimensi-dimensi baru dari kepemimpinan yang layak untuk dipakai sebagai bagian integral dari paradigma kepemimpinan yang kontekstual.
Kenyataan dalam Alkitab tentang Kepemimpinan Perempuan
Bagian ini sengaja tidak ditempatkan di bagian awal tulisan dengan tujuan supaya kenyataan apa adanya ditampilkan dan Alkitab tidak menjadi ukuran untuk hal ini. Namun jika kita mau menelusurinya juga, maka terdapat sumber-sumber berita dan tafsiran yang menyatakan kepemimpinan perempuan dalam posisi-posisi kunci.
Karen L. King melihat peran yang sangat penting dalam sejarah kepemimpinan perempuan sebagai berikut:
Maria Magdalena adalah benar-benar figur yang berpengaruh, tetapi sebagai seorang murid terkemuka di salah satu sayap gerakan Kristen mula-mula yang mempromosikan kepemimpinan perempuan. Menurutnya, beberapa ahli bahkan menyatakan bahwa mayoritas orang Kristen pada abad pertama adalah perempuan. Dalam surat-surat Paulus disebut nama: Prisca, Junia, Julia, and saudara perempuan Nereus, yang bekerja dan melakukan perjalanan misi sebagai rekan dari suami atau kakak laki lakinya (Roma 16:3, 7, 15). Euodia dan Sintikhe disebut pekerja Injil (Filipi 4:2-3). Beberapa pendiri jemaat rumah, sebuah strategi berhubungan peraturan di Roma yang menganggap kekristanan bukan hal yang legal. (Apfia di Filemon 2; Priska di I Korintus 16:19). Juga Lidia dari Tiatira (Kis.16:14) dan Nimfa dari Laodikia (Kolose 4:15). Juga menangani administrasi dan penyembahan, pelayanan dan nubuatan (Roma 16:1, I Korintus 11). Tidak hanya hal-hal estetika tetapi juga khotbah umum, pengajaran, pemimpin doa, pelayan perjamuan (A later first century work, called the Didache, assumes that this duty fell regularly to Christian prophets).
Dari sebagian kecil ini saja dapat kita lihat bahwa permasalahan tentang kepemimpinan perempuan terletak pada:
- Siapa yang berkuasa dan berpengaruh untuk menyatakan bahwa perempuan lebih rendah daripada laki laki.
- Apakah legitimasi budaya dan agama yang ada untuk mensahkan hal tersebut.
- Apakah terbuka peluang bagi perempuan untuk memberi reaksi secara individual, kelompok maupun sistem sehingga terdapat proses tawar menawar untuk perubahan masyarakat.
Persoalan kepememimpinan dalam perspektif teologis dapat dikembangkan sehingga teologi gereja membuka peluang bagi partisipasi semua orang membanguna dunia, dan bukannya menutur ruang bagi kehidupan berbagi yang lebih bermartabat.
Membuat Definisi Kepemimpinan dari Pengalaman Perempuan
Dalam bagian ini saya mencoba mengangkat dimensi-dimensi yang penting, belajar dari paparan di atas antara lain:
- Pengontrolan diri: Pengontrolan diri merupakan dimensi aktual untuk semua pemimpin dalam berbagai sektor. Terhadap kecenderungan dipolitisir maupun mempolitisir orang lain, pengontrolan diri adalah rambu yang arif. Melalui pengontrolan diri terbuka horizon untuk membaca situasi dengan bebas atau tidak terikat pada kepentingan temporer diri sendiri. Pengontrolan diri akan membuat pemimpin mempertimbangkan semua misi yang gamang terhadap hasil yang instan.
- Visi:Daya yang dimiliki karena kompleksitas pengalaman dan perkembangan budi seseorang. Hal itu perlu dilanjutkan dengan kapasitas untuk menggerakkan yang lain itu meyakini visi kita. Menciptakan inovasi baru untuk memperlihatkan berperannya dimensi-dimensi yang dianggap dan dilakukan perempuan sebagai bagian dari kepemimpinannya.
- Belas kasih: Belas kasih (compassionate) diperlukan dalam setiap kepemimpinan, khususnya untuk yang takut untuk melakukan tindakan nyata. Hal ini diperlukan sehingga peluang tidak tertutup namun tanpa batas terbuka dengan sabar bagi perkembangan yang berbeda dari setiap manusia.
- Empati:Empati adalah pengembangan dari sensitifitas, yakni untuk mengambil beban orang yang dipimpin dan dalam suasana itu memikirkan jalan keluar dengan tidak menjadikan kesulitan orang yang dipimpin sebagai alasan menjadikannya obyek atau orang yang terikat dalam ketergantungan dengan pemimpin. Saya setuju dengan kesimpulan yang dibuat APWLI bahwa dengan empati maka akan terjadi pemberdayaan kelompok marjinal sehingga “para pemimpin yang diam” akan berdaya untuk masuk ke arus tengah partisipasi dalam masyarakat dan mengabaikan pandangan umum tentang konsepsi kepemimpinan yang bias gender itu.
- Kemampuan komunikasi:Kemampuan ini dipelajari dari pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman berkomunikasi dari kebanyakan orang yang bukan memimpin tidak berarti lebih rendah kualitasnya dengan kelompok dominan ini. Variasi bentuk komunikasi dapat bermanfaat untuk dipili dalam konteks yang khusus.
- Fondasi spiritual:Spiritualitas adalah daya yang untuk untuk memaknai berbagai proses dalam kehidupan dengan sudut pandang etis dan kreatif bahkan teologis sehingga muncul berbagai kemampuan termasuk kemampuan bertahan (survive) maupun menjadi agen perubahan. Dari hasil penelitian itu disimpulkan antara lain: bahwa kaum perempuan di Asia menggunakan nilai-nilai yang berbeda beda untuk proses mendinamisasi kekuasaan dan kepemimpinan. Pengalaman untuk membuat tantangan menjadi kesempatan, dengan melihatan tantangan sebagai undangan untuk membuat perubahan. Perempuan-perempuan ini menemukan hal-hal strategis penting untuk mengembangkan hal-hal etis, kepedulian dan kepemimpinan yang berbelas kasih, dan sharing menjadi ajang dan pendekatan untuk studi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk institusi.
- Keterbukaan menerima resiko:Keterbukaan menerima resiko ini bagian komitmen untuk menerima diri sebagaimana adanya (termasuk yang dapat melakukan kekeliruan maupun kesalahan) dan menerima kecenderungan tantangan yang berubah menjadi ancaman. Pemimpin yang terbuka menerima resiko adalah yang konsisten terhadap komitmen maupun integritas dirinya.
Demikianlah beberapa dimensi penting dari kepemimpinan yang berorientasi kepada transformasi.