Salam Jumpa Dunia!

Welcome to Nancy Souisa's weblog. This blog is an expression of my wrestling and emotions as a woman.

Thursday, March 27, 2008

Mama Papalele di Kota Ambon

Karena hidup berjalan terus, kaum perempuan pejuang ini terus menapakinya dengan setia.
Papalele..... berkeliling menjual bahan-bahan yang dibawanya...
Dijunjungnya dengan pengharapan, ditawarkan dengan kepastian...
Karena "berkat" bukan semata-mata hasil transaksi, tetapi janji yang diterima dalam kerja yang jujur......

Wednesday, March 26, 2008

Penelaahan Alkitab

"Perempuan, Lingkungan dan Kemiskinan"

(Suatu Cerita Pembaruan Hidup)

Teks: Rut 1-4

=======================================

Mula Antar

Teks ini memperlihatkan bahwa masalah lingkungan alamiah bukan masalah tunggal. Masalah lingkungan senantiasa mengkaitkan dengan erat ling­kung­an alamiah (nature) dengan lingkungan sosial. Penguasaan dan pengelolaan alam berhubungan sangat erat dengan struktur dalam masyarakat, misalnya pola hidup masyarakat dalam sistem patriarkat akan memperlihatkan ciri tertentu. Aturan membing­kai, menempatkan dan menentukan pola relasi antar manusia maupun dengan lingkungan alamiah.

Di dalam teks ini perempuan berada pada posisi ambigu; pada satu sisi perempuan adalah pusat narasi kitab Rut ini namun pusat narasi yang bagaimana? Akan kita telaah lebih dalam lagi bersama-sama.

TELAAH TEKS

Teks ini akan ditelaah dengan memakai hermeneutika “kritis” yang melihat teks :

  • Bukan hanya yang tersurat saja tetapi menangkap pesan yang tersirat
  • Sadar tentang sistem masyarakat dari mana para penulis teks berasal dan proses teks terbentuk.
  • Tidak semata-mata terikat kepada tafsiran tertentu, apalagi yang mengakibatkan diskri­mi­na­si terhadapat kelompok masyarakat tertentu.

Bencana Lingkungan Hidup

  • Bencana lingkungan menjadi latar belakang perjalanan hidup keluarga Naomi ke sebuah tanah yang asing (Moab).
  • Tanah yang tidak menumbuhkan hasil dan musim paceklik itu menandai tidak adanya ruang hidup. Kelaparan adalah bencana yang fatal bagi masyarakat pertanian; dan pengungsian atau pindah tempat tinggal adalah cara memperoleh ruang untuk hidup itu.[1] Di dalam ruang hidup ini refleksi teologi lahir oleh karena itu keunikan ruang hidup akan mempengaruhi refleksi teologi.
  • Dari teks diketahui bahwa bencana kelaparan, dalam pandangan teologis penulis, dipengaruhi dan mempengaruhi totalitas kehidupan manusia, termasuk ketaatan dan kemurtadan manusia dalam relasinya dengan Tuhan.


Mencari Ruang Hidup

  • Keluarga Naomi keluar dari Yehuda dan memasuki ruang hidup di tanah yang asing. Selama 10 tahun Naomi di perantauan dan mengalami suatu kehidupan yang baru, berdam­ping­an dalam pluralitas etnis dan agama di Moab.
  • Naomi kehilangan suami dan anak-anak laki di tanah yang asing itu. Dapatlah dibayangkan bahwa Naomi yang mengalami kegetiran hidup di tanah yang asing itu.
  • Indikasi kehampaan, tersimbolisasi dalam penggantian nama Naomi menjadi Mara (Yang Mahakuasa telah melakukan kegetiran/malapetaka). Ruang hidup yang tidak adil ditambah lagi dengan kehilangan relasi kemanusiaan dalam keluarga yang lengkap. Ketika ke Moab sebenarnya untuk mencari ruang yang lain namun ditinggal mati bersama kedua menantunya.


Pulang Ke Rumah : Ruang Yang Didominasi

  • Pemulihan lingkungan oleh Allah menjadi berita gembira untuk sang perantau ini. Bayangan tentang kehidupan yang lebih baik menjadi harapan. Namun kisah selanjutnya memperlihatkan bahwa kehilangannya itu tidak hanya di luar tanah kelahirannya tetapi juga kehilangan banyak hal dalam masyarakatnya sendiri. Rut dan Naomi tetap berada pada posisi yang sama dengan orang asing, anak-anak yatim piatu, kelompok yang di-protect namun berada pada posisi subordinat. Naomi dan Rut mengemis belas kasihan dengan memungut bulir-bulir jelai di belakang orang yang murah hati kepadanya. Lingkungannya bukan lagi ruang hidup yang membuatnya merasa bebas; ia telah membayangkan bahwa sistem dan nilai patriarkat akan meminimalisir kemanusiaannya karena telah kehilangan suami dan anak laki-laki. Yang ada hanyalah Mara, Naomi telah berlalu.
  • Naomi dan Rut menggugat Tuhan tentang ketidakadilan, dan berusaha terus untuk realistis terhadap kenyataan hidupnya. Melihat posisinya kini di dalam lingkungan alamiah dan lingkungan sosialnya. Dengan kesadaran ini ia memulai babakan hidup yang baru dan mempersiapkan bentuk perjuangan selanjutnya.


Berdaya dengan Solidaritas dan Melawan Kekerasan dengan Tanpa Kekerasan

  • Bentuk perjuangan pertama yang dilihat strategis ialah prinsip SOLIDARITAS dan KERJA SAMA. Rut dan Naomi mengalami sebuah keterikatan kuat untuk bekerja sama berdasarkan rasa solidaritas yang tinggi. Bukan saja ikatan dua janda tanpa anak tetapi perempuan yang sama-sama mengalami penindasan multi dimensi. Naomi dan Rut sepakat untuk mencari alternatif perjuangan untuk bertahan tetapi juga menerobos batas hukum secara kreatif. Termasuk tertempatinya Boas dalam kapasitas sebagai penebus dan menempatkan ulang Rut dan Naomi dalam sejarah panjang uamt. Hal-hal itu dilakukan secara bersama dengan pertimbangan dan kesepakatan bersama.
  • Bentuk perjuangan kedua yang dianggap strategis adalah MENGUBAH KELEMAHAN MENJADI KEKUATAN, ANCAMAN MENJADI PELUANG. Rut dan Naomi melakukan manuver dengan mempergunakan celah dari Hukum Deuteronomi (Ulangan 24:19). Kalau keberadaan mereka dipandang sebagai kelompok yang layak di-prokteksi maka proteksi itu dituntut dengan ngotot dan bersungguh-sungguh. Kelihatannya berada dalam posisi lemah namun hal itu, dengan rasa optimis, dipakai sebagai sumber kekuatan baru. Cara untuk mengubah Hukum dalam konteks masyarakat itu adalah sebuah perjuangan yang panjang. Dan dalam konteks Rut dan Naomi, hal itu bukan pilihan yang cepat. untuk mengatakan TIDAK kepada sistem patriarkal yang memperanakan sistem pengelolaan lingkungan dan ekonomi yang tidak adil, cara yang diambil adalah melakukan tuntutan penebusan; cara ini adalah cara untuk melawan kekerasan dengan cara nonviolence.
  • Bentuk perjuangan ketiga yang dianggap strategis adalah MEMBUAT PILIHAN BAGI DIRI SENDIRI. Dalam aturan hukum seperti yang menekankan garis laki laki, tidak terbuka kemungkinan di mana perempuan boleh memilih. Posisi perempuan adalah obyek penyerta dari pihak laki laki yang ada disekitarnya (orang tua, suami, anak); jawaban yang dituntut adalah “ya”. Dalam teks ini, Rut dan Naomi mengatakan TIDAK kepada hal yang tidak diinginkan dan disetujuinya. Kepada tertutupnya akses pengelolaan alam, pemiskinan dan upaya membuat tidak berdaya secara legal karena kondisi penyerta seperti: janda tanpa anak, mereka mengatakan TIDAK. Miskin karena dimiskinkan bukanlah opsi yang dipilih Naomi dan Rut.

---------------

[1] Dalam pandangan (worldview) masyarakat suku manusia dan lingkungan alamiah terintegrasi sebagai totalitas kosmos. Tanpa ruang, manusia bukanlah apa-apa. Berbeda dengan pandangan kebanyakan masyarakat modern, termasuk teologi Kristen di Barat yang menempatkan manusia sebagai pusat ciptaan.

Monday, March 10, 2008

Perbandingan Pandangan dan Sikap Badan-badan Zending Calvinis dan Lutheran terhadap Agama Suku dan Penerapannya di Indonesia Abad ke-19

Tulisan ini awalnya suatu hasil membaca dan mencoba-coba membuat perbandingan untuk sekadar melihat perbedaan dan kesamaan karakter dalam Pekabaran Injil (PI) antara badan-badan zending beraliran Calvinis dan Lutheran. Dari situ saya juga mencoba melihat bagaimana perspektif badan-badan zending tersebut terhadap eksistensi masyarakat lokal (indigenous people) beserta seluruh ekspresi kebudayaannya. Dari tulisan sederhana ini pula diharapkan tergambar bahwa kemajemukan pendekatan PI di kalangan gereja-gereja yang tumbuh di Indonesia memiliki akar sejarah dan benturan budaya yang cukup panjang. Dengan melihatnya demikian, kita tidak hanya memahami perbedaan karakteristik bergereja pada aspek doktrinal semata.

1. Persamaan
  • Badan zending Calvinis dan Lutheran memiliki kesamaan dalam pandangan tentang agama suku. Agama suku yang terepresentasi dalam masyarakat adat pada suatu lokus PI dipandang sebagai kelompok orang yang hidup di dalam "kegelapan". mereka belum tahu apa-apa tentang Injil. Kehidupan sosial mereka sama sekali merupakan sesuatu yang asing. Dalam perkembangannya, pemahaman ini mulai bergeser karena dipengaruhi oleh berkembangnya ilmu pengetahuan yang mulai memelajari realitas agama-agama bukan-Kristen. Misalnya, seperti yang dinyatakan oleh J.L. van Hasselt "Mungkinkah di kalangan orang kafir dapat ditemukan jejak-jejak dari sisa-sisa yang kecil-kecil gambar Allah? Yang dalam pengakuan Gereja Hervormd diakui terdapat pula di dalam manusia yang telah jatuh ke dalam dosa? Pandangan ini mendorong pemikiran lebih mendalam mengenai alasan PI daripada yang timbul dari paham biblisisme (berdasarkan Matius 28) dan daripada pietisme belaka.
  • Pandangan ini berlanjut dengan melihat bahwa agama suku merupakan sasaran PI.
  • Pandangan bahwa penganut agama suku belum beradab dan oleh karena itu mereka perlu diperkenalkan dengan pemahaman dan pengetahuan modern. Indikasinya ialah "orang-orang primitif" tersebut malas dan bodoh.
  • Propaganda gereja tidak lagi menjadi prioritas dalam PI. Mereka sama-sama menghindari penekanan dogmatis dari tiap-tiap sekte. Yang diinginkan adalah orang mendegar berita kesukaan tanpa keharusan mengikuti aliran-aliran tertentu.
2. Persamaan Sikap
  • Kedua badan zending bersikap menghargai bahasa daerah setempat walaupun sampai pada batas-batas tertentu, yakni karena melihat kepentingan bahasa itu bagi PI. Dengan perkataan lain, membuat sedemikian rupa sehingga bahasa tidak menjadi rintangan bagi PI. Hal itu terlihat bahwa para pekabar injil mengetahui sedikit-banyak bahasa-bahasa yang digunakan oleh penduduk lokal. Paling sedikit, mereka menguasai bahasa melayu yang waktu itu berperan sebagai bahasa pergaulan.
  • Penekanan pada aspek pendidikan. Kegiatan bidang pendidikan hampir tak pernah diabaikan. Rupanya, kedua badan zending ini menyadari bahwa pendidikan sangat berhubungan dengan PI. Banyak sekolah didirikan, murid-murid yang berhasil dididik maupun tenaga-tenaga pengajar yang dikirim dari Belanda, juga tenaga pengajar yang coba dilatih menjadi pendeta pembantu, guru injil, dsb.
3. Perbedaan Sikap
  • Dalam hal penguasaan bahasa, badan zending Calvinisme yang didominasi NZG menunjukkan beberapa sikap yang tidak selalu sama. Ada pekabar injilnya yang sangat respek terhadap bahasa daerah, seperti yang ditunjukkan oleh para pekabar injil di Sulawersi Utara. Adapula yang menganggap bahwa bahasa lokal tidak terlalu berguna untuk PI. Pendapat golongan kedua ini didasarkan alasan bahwa penggunaan bahasa lokal akan lebih mendekatkan orang kepada agama sukunya. Yang kedua, kosakatanya kedengaran kasar dan primitif, serta tidak dapat digunakan untuk menyampaikan maksud PI.
  • Para pekabar injil RMG yang dominan mewakili badan zending Lutheran tidak lagi menganggap bahasa lokal tidak berguna. Dari beberapa literatur yang diperoleh disebutkan bahwa tindakan pertama seorang pekabar injil RMG adalah memelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat lokal. Sebagai contoh: Nommensen (Tanah Batak), Lett (Kep. Mentawai), Denninger (Nias).
  • Pekabar injil dari badan zending Calvinisme sangat mengutamakan kehidupan rohaniah dari orang-orang yang menjadi sasaran PI-nya. Hal itu tampak dari aktivitas mereka yang lebih dominan seperti katekisasi, ibadah, khotbah, ibadah doa, baptisan, perjamuan kudus, praktik disiplin gereja.
  • Pekabar injil dari badan zending Lutheran menempatkan kepentingan perkembangan spiritual seimbang dengan kepentingan material. Hal itu tampak dari kegiatan-kegiatan para pekabar injil yang tidak hanya menerjemahkan PL dan PB, serta ibadah, tetapi juga melakukan perbaikan pertanian, peternakan, mengajar cara menggiling beras, membantu memberi pinjaman uang dengan bunga rendah kepada para hamba dan orang miskin, serta membuka sekolah-sekolah. Nommensen, misalnya, berpendapat bahwa "Jikalau kita hanya menabur kerohanian saja maka tak mungkin kita menuai manusia segenapnya". Maksudnya adalah gereja harus memperhatikan hal-hal atau kebutuhan materi juga.
4. Kedua badan zending ini sama-sama menekankan pendidikan namun proses dan aktivitasnya tidak selalu sama. Di daerah-daerah yang dilayani oleh zending Calvinisme, dalam hal penyelenggaraan sekolah, zending menyediakan tenaga guru atas permintaan penduduk, setelah dibangun sekolah oleh penduduk lokal. Di Tanah Batak misalnya, yang dilayani oleh badan zending Lutheran, terdapat fakta yang unik. Sekolah dibangun dengan konstruksi bangunan yang sangat sederhana jauh dari bayangan orang-orang Belanda. Pelajaran diberikan oleh pendidik asal Batak dengan muatan pendidikan yang sangat berhubungan erat dengan pemahaman suku. Latar belakang usia calon anak didik pun tidak terkategori seperti yang dilakukan oleh para misionaris Belanda. Perkembangan yang dialami di Tanah Batak dilanjutkan ke Pulau Enggano yang juga dilayani oleh badan zending Lutheran. Ketika pendidikan akan dilaksanakan di situ, bukan orang-orang RMG yang didatangkan melainkan para penginjil dan guru-guru dari Batak.

5. Pelayanan yang dilakukan oleh badan zending Calvinisme kelihatannya sangat terburu-buru. Hal itu tampak dari jadwal PI misalnya Joseph Kam yang sangat padat dengan jangkauan pelayanan yang bervariasi. Akibatnya, jemaat-jemaat mendapatkan pelayanan rohani yang sangat dangkal dan singkat. Hal ini berbeda dengan kegiatan badan zending Lutheran yang daerah pelayanan PI-nya di Nusantara (Indonesia) tidak seluas NZG dari Calvinisme. Salah satunya ialah karena para pekabar injil menetap cukup lama di suatu tempat. Proses masuknya orang-orang pribumi menjadi penganut agama Kristen berjalan tanpa kejaran waktu yang terlalu ketat. Denninger, misalnya, menunggu 9 tahun di Nias baru dilaksanakan baptisan pertama. Itu pun terlaksana atas permintaan masyarakat lokal sendiri. Hal ini berdampak besar. Orang-orang Nias bertobat dalam kelompok yang sangat besar dan berakar cukup dalam. Dari catatan-catatan yang ditemukan terlihat bahwa banyaknya penduduk yang bertobat membuat para pekabar injil kelabakan untuk melayani mereka. Setiap hari mereka datang dalam kelompok yang besar untuk mengaku dosa-dosa mereka sebelum dibaptis. Apa yang mereka akui itu sampai pada hal-hal yang sangat pribadi dan sederhana. Misalnya, ada yang mengaku telah mencuri sebuah kelapa 20 tahun yang lalu. Jadi dapat kita bayangkan betapa mendalamnya makna "pertobatan" bagi mereka.

Analisis Perbandingan

Pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan zending Calvinisme dan Lutheran tidaklah identik dengan sebuah gereja yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, ciri khas mereka pun terlihat jelas. Adakalanya pandangan dan sikap mereka mirip dengan aliran gereja tertentu tetapi pada waktu yang lain tidak kelihatan seperti itu lagi. Zending Calvinisme sangat menjunjung pietisme. Hal itu berdampak terhadap pandangan dan sikap mereka yang "bercita-cita" membentuk suatu kelompok orang hasil PI yang saleh dan menerima Injil apa adanya. Para pekabar injil hanya mau menyampaikan apa yang mereka ketahui tentang itu. Oleh karena itu, sejarah hidup Yesus dan pelayanan-Nya selalu menjadi substansi pokok dari berbagai aktivitas.

Begitu pula Lutheran. Namun, menyangkut RMG ini pun muncul gejala yang sangat unik. Mereka adalah hasil penyatuan (union) dari Lutheran dan Calvinis. Kegiatan mereka sesekali sangat dipengaruhi oleh semangat pietis, namun pada saat yang lain kelihatan tidak ada pengaruh pietis. Hal ini dilatarbelakangi oleh proses lahirnya masih merupakan perkembangan yang sedang berproses: apakah penyatuan tersebut menyangkut isi ajaran atau hanya segi organisasinya saja.

Dalam ber-PI, badan zending Calvinis (NZG, UZG) sering mengalami ketegangan dengan pemerintah Belanda baik menyangkut substansi PI maupun persoalan keuangan. Ini berdampak pada hasil PI mereka. Pada kenyataannya sering terdapat jemaat yang ditinggal pergi sebelum benih Injil ditabur dengan baik. Pada sisi lain, hasil PI dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengetahuan para pekabar Injil yang sangat minim.

Badan zending Calvinis lahir dari gereja[-gereja] Belanda yang sementara mengalami perubahan secara cepat. Ada PI yang hadir dengan latar belakang gereja yang masih sepakat dengan negara. Artinya, masih setuju negara campur tangan dalam urusan-urusan gereja. Tetapi ada pula pekabar injil yang lahir dari gereja yang menginginkan kebebasan penuh atau lepas dari intervensi negara. Pengelompokan ini membantu kita dalam melihat sepak terjang mereka di Indonesia. Yang dari situ dapat dilihat bahwa ada kelompok yang terus berusaha menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah; ada pula kelompok yang benar-benar murni ingin menjalankan PI.

Dengan demikian, saya melihat bahwa RMG menunjukkan suatu ciri yang lebih berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan situasi lokal dimana PI dilakukan. Sekalipun itu dalam batas-batas kepentingan PI, namun terlihat suatu perkembangan "maju", yakni orang-orang pribumi untuk selanjutnya dipakai sebagai tenaga pekabar injil. Tidak diketahui dengan pasti apakah ada latar belakang kurangnya tenaga RMG, keuangan, dll. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Wednesday, February 27, 2008

2006 WOMEN WORKSHOP - WOMEN AND PEACE-BUILDING: INDONESIAN EXPERIENCE

Introduction

It is a great honor as well as challenging assignment to present paper and experience before participants who all remarkable leaders, experiential and knowledgeable teachers. It is my hope that we can share and learn together from this section.

Our material is about women and peace-building: Indonesian Experience. The first time when I saw this theme, it is very actual, related to something did by women in current day, something we need for our present situation and future. Like we need for "a life" itself.

To present experience of Indonesian women, I interview some local and national women leader and I hope their voice can be hear in this workshop. My position: Represent and then re-present

Stories from Indonesian

There are many stories to describe both the treat to peace and justice in our present day realities and seeds of peace-building seedling by communities where women being integral part even become inspiring people, be in solidarity with them when no justice and no peace.

I select 5 (five) short stories prior this paper, based on community that I lived as follows:

1. Story about a chaos situation in Maluku (a province in eastern of Indonesia). It was not religion conflict. It was a political that spread and social conflict. When it became social conflict, suddenly people segregated based on their religion; it because of used religion symbol. From 1999 until 2003 thousand people died, thousand houses, churches, mosques, and other building burned down. It was a women group who lived in segregation process in society in Maluku(especially based on their religion). They precisely commit to build friendship across their religion and voice out together for peace and to break violence. They used paradox strategy as follows:

a. Choose to life together and not segregate.

b. They to find solution for manage conflict and push away segregation.

c. Raise new symbols to making balance with symbols that already interpreted as violence symbols dominantly, for example: "mothers milk" promoted to make balanced and compiled for interpreted for "blood" that strong to indicate for violence and victim. Or slogan "Peace Land" when that region be violence, military operation, exploited land.

2. A story from women pastor about how to survive and trying hard to uninvolved continuing violence. Implicitly, they hope to life in peace even they are trying hard to get justice for themselves. While conflict happen, some women in her congregation frequently to mountain (their garden there) for keep some basic needs anticipating unpredictable situation. They make basic commodity like coconut oil, dried fish, etc. When they must stay in the mountain, for some days they have food. They cooked when the mist around their place so that other groups who want to kill them couldn't find their place. This is story according to life and death. They try to survive while stand in the principle on peace. On the other side law officer, military or government did not yet to protect people.

3. Story from women in grass roots economic field. They who still commit to support people needs although in chaos situation (for example: papalele in Ambon, parengge-rengge in North Sumatera, ibu bakulan in Java,). In spite of uncertain guarantee according to its continuity but they still do it consistently. Different from we always hear from mass media that government try to prepare conducive situation as condition for our savior "investors". People economic built to help people to survive and continue their life while fluctuation happened. Some special sign from these groups as follows:

a. Education Orientation, especially for children

b. Simple life style.

c. Small is beautiful, their principle to manage enterpreunership and economic in grass-roots level.

4. Many families break in violence situation. Many men, women, children died, refugees. Many women trying to built new life with all the rest that they have creatively. It shows their attitude to say "no" to violence and marginalized. Some special/unique from them as follows:

a. Trying to placed family as one of base for transform life. They interpreted culture in new ways according to current situation, like: philosophy of "Big House", "we are sister and brother", "pela".

b. Their activities used natural resources with balanced attitude and protect sustainability.

5. From the base of service of the association of theological schools in and member schools (according to our situation), we want to said "no" to continue violence that make human suffer. We built concrete networking and solidarity, where some students (last year) have send to other "save" member school to finished their study. More than 50 students graduate during in conflict situation (example: STT GMIH Tobelo, Faculty of Theology UKIM Ambon, STT GKST Tentena) when some of their parents less job, separate from them, become internal displaced people or died.

That stories happened in the complexity situation of Indonesia both as victims and agent of transformation. That complexities as in my experiences as for peace-building as follows:

1. Big task is to manage our plural situation. Is it true that violence can be tools for that task. Violence is way for denied that plurality.

a. Friendship education across identity must be promote seriously as model to response orientation dominant with competition and business.

b. Equality must be promoted continually to make better horizon in plural society.

2. Language of "Culture" that relevant to make common symbols in every community.

3. Culture of violence spread without shamed.

4. System of state can not denied as source of complex problems, so that we must consider some task to peace-building as:

a. Involved in the process to make sure ideology of Indonesia that placed every citizen equally. Such long time, we think Pancasila and UUD 1945 as best foundation that give guarantee for that purpose.

b. If it fail so that our independent only "not real" post-colonial. While we are in that situation, globalization in twenty-first century show tend to arise new imperialism.

c. According to that, we must pay attention for all regulation product that stimulating break integrity, segregating people, make people poor. For example: Regulation about anti-porn (graph and action) make women as persecuted, make women can not work afternoon and night, after from almost 40 year development period result millions factory worker.

d. Struggling to make transformation in development in Indonesia. Until now that is central mission in Indonesia. If not, the development only a myth and become a legitimate "weapon" for doing unjust in society. For example: relevant traditional/ethnic laws marginalized by national laws. Truly there are many local wisdom, wide gap among rich and poor people, unequal level of prosperity in Indonesia (those who in village, Eastern of Indonesia, etc.)

e. Doing continually justice problem as mainstream. No peace with justice.

f. From kind research, found that many democratic and human right activist did not involved in practical politics, there are small channel for control by people for democratic process in Indonesia (for example: advocating people faced capitalist).

Friday, February 15, 2008

Makan Patita: Model Persekutuan dalam rangka Mencari Cara Bergereja yang berakar pada Konteks

I. PENDAHULUAN

Gereja Protestan Maluku (GPM) merupakan salah satu gereja yang lahir dari hasil pekabaran Injil model kekristenan Barat. Seperti sebagian besar gereja-gereja di Indonesia, GPM memiliki karakteristik sosiohistoris dan eklesiologis yang khas, sebagai hasil perpaduan dan kontekstualisasi di sepanjang sejarahnya. Karakter eklesiologisnya tidak hanya nampak dari cara menggereja secara formal dalam bentuk ritual, liturgi, nyanyian jemaat, dogma, dsb., tetapi juga dari cara hidup jemaat-jemaatnya. Konteks kebudayaan Maluku dengan beraneka ragam pola kehidupan sosial masyarakat pulau-pulau menjadi faktor penentu dalam membangun persepsi berjemaat di Maluku. Dengan perkataan lain, konteks kebudayaan “lokal” di Maluku tidak dapat tidak mesti diperhitungkan secara serius dalam proses membumikan Injil di Maluku. Hanya di dalam proses memahami kebudayaan “lokal” itulah, gereja tidak hanya menanamkan nilai-nilai kekristenan dalam bentuk dogma-dogma yang mesti ditaati tanpa sanggahan, tetapi nilai-nilai Injil menampak dalam cara hidup berjemaat sebagai persekutuan murid Kristus.

Judul di atas bukan bermaksud menegasikan proses bergereja maupun model yang telah ada namun justru untuk melakukan proses peninjauan dan keinginan untuk memikirkan transformasi gereja terus-menerus. Tentunya sumber motivasi ini juga muncul dari dalam, dengan pengertian bahwa tradisi reformasi mengajarkan proses pembaruan terus-menerus sebagai bagian dari jati diri kekristenan.

Pada sisi yang lain, percakapan teologi kontekstual yang sekaligus merupakan teologi pembebasan memperlihatkan cara pandang terhadap kehidupan yang berdasar pada penghargaan terhadap upaya manusia dari waktu dan tempat tertentu (=budaya) sebagai bagian dari penampakan pekerjaan Penciptanya di dunia ini. Pemahaman bahwa budaya merupakan bagian dalam dari berita yang injili sejauh kelengkapan budaya itu mengangkat martabat kemanusiaan dan mendukung manusia untuk membangun relasi yang harmoni dengan sesamanya.[1] Model-model kehidupan yang berkembang dalam proses perubahan sosial dari waktu dianggap penting dan alangkah naif jika diabaikan.

Dalam proses berteologi, gereja selayaknya berusaha menempatkan cara hidup dan relasi-relasi sosial dalam komunitasnya sebagai sumber-sumber teologis yang mendorong ke arah pemahaman relasional Tuhan-manusia dan manusia-manusia yang lebih baik dan seimbang. Dan budaya merupakan bagian dari cara untuk mencapai tujuan itu secara luas, sehingga dasarnya tidak semata-mata pada usaha memahami kehendak Tuhan secara abstrak tetapi bagaimana manusia menata relasi sosial yang sedemikian rupa sehingga mampu direfleksikan sebagai “kehendak Tuhan” yang konkret.

Dari sudut pandang Feminis, model-model relasi sosial yang diprioritaskan adalah relasi yang melihat kesetaraan, non diskriminasi dan pengharagaan terhadap yang “kecil, terlupakan” sebagai nilai-nilai utama. Pengamatan dan pengalaman bergereja adalah bagian yang utama untuk terus-menerus ditinjau sehingga perjalanan bergereja menjadi pengalaman yang hidup dan bergerak untuk mencari cara hidup bersama yang saling menghidupkan.

Di antara sekian banyak ekspresi budaya, dalam tulisan ini saya memilih untuk “membaca” ekspresi budaya lokal makan patita, atau yang sering disebut sebagai “makan bersama”. Tindakan-tindakan sosial ini mempunyai makna sosial yang ternyata mampu melestarikan ikatan-ikatan internal dalam suatu kelompok sosial dan upaya memahami hidup secara total. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri dan memahami (verstehen) makna sosial makan patita. Dengan memakai pendekatan hermeneutik budaya dan kerangka metodologi antropologis, melalui tulisan ini saya akan mengulas makan patita yang bermuara pada penemuan nilai-nilai kehidupan apa yang dapat digunakan untuk memahami “teologi” makan patita.


II. MAKAN PATITA: Pengalaman Sakral dalam Persekutuan Makan Bersama (sebuah Pengalaman Pribadi)

Beberapa kali saya mengikuti acara “makan patita, baik dalam sebuah acara adat maupun kegiatan secara umum. Prosesinya tidaklah selalu sama namun nilai-nilai dasar yang hendak disampaikan dapat dengan jelas dipahami dari tindakan “makan patita” itu. Dalam pengalaman awal saya, saya mengerti apa itu “makan”, tetapi saya tidak paham apakah itu “patita”? Sebagai seorang anak yang lahir di kota Ambon, dan mungkin dialami oleh kebanyakan anak lainnya, bahasa daerah, yang sering disebut “bahasa tanah”[2] tidak diajarkan kepada kami sejak kecil begitu pula dalam interaksi pendidikan serta dalam masyarakat. Hal itu juga terlihat pada kedua orang tua saya. Bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon. Hal itu berbeda dengan beberapa teman saya yang lahir dan dibesarkan di Pulau Seram dan kampung-kampung tertentu di Pulau Ambon (khususnya jasirah Leihitu), serta dari Jawa dan Sumatera. Untuk hal ini, saya merasakan perlu mempelajarinya secara khusus. Dari pengalaman yang saya dengar langsung dari beberapa orang ketika melakukan penelitian lapangan di Pulau Seram bahwa pada jaman Belanda mereka tidak diperbolehkan berbahasa asli dengan leluasa dan jika diketahui maka akan diberi hukuman oleh pegawai-pegawai Belanda.[3] Hal makan patita dan sejarah bahasa tidak kelihatan hubungannya yang erat namun ternyata untuk memahami apakah itu “patita” saya tidak serta merta bisa mendefenisikannya karena masalah bahasa di atas. Namun hal itu kemudian masih bisa diatasi dengan cara terlibat di dalam acara itu secara langsung. Begitulah saya ingin mengikuti makan “patita’ karena akan berjumpa orang lain dan ingin mengetahui seperti apakah acara itu.

Dari jauh kelihatan banyak orang berkumpul, membuat saya terharu akan suasana itu. Ada yang sibuk mempersiapkan penataan makanan (didominasi oleh ibu-ibu), sebagian lagi bersiap-siap untuk bertugas selama acara makan patita itu berlangsung untuk melayani peserta sesuai dengan kebutuhan tertentu. Menu makanan yang tersedia ciri khas makanan Ambon dengan variasi bentuk dan bahan dasar, misalnya: papeda, sagu, ubi, singkong, sayur singkong (daun kasbi), acar dan kokohu (sayur campur dengan bumbu yang khas), ikan yang diasapi (ikan asar), ikan kuah, dan lainnya. Diawali dengan beberapa prosesi yang saling memperkuat makna dari acara makan patita itu yakni mempererat hubungan persaudaraan.

Setelah itu, hingga saat ini, saya mengalami beberapa kali makan patita dengan komunitas-komunitas tertentu. Nama komunitas-komunitas itu tidak lagi terlalu saya ingat tetapi pesan yang rupanya ingin disampaikan oleh “pengalaman makan patita” membekas dan menginspirasi perjalanan hidup saya. Pada awalnya, ada perasaan senang melihat proses makan beramai-ramai, dengan makanan yang bervariasi. Secara fisik suasana itu penuh warna-warni, layaknya sebuah perayaan, penuh dengan suka cita. Namun setelah saya mengalami beberapa kali “makan patita”, nilai-nilai yang lain bermunculan dengan kesan yang kuat juga. Kesan itu muncul dengan pertanyaan dan pernyataan hasil pengamatan: Siapa yang mempersiapkannya? Tidak jelas lagi siapa pemilik perayaan itu, karena kelihatannya sudah seperti milik bersama. Kenapa tidak ada yang mambatasi orang lain untuk memakan menu tertentu padahal yang datang banyak orang? Rasanya seperti tidak ada ketakutan bahwa makanan tidak lengkap lagi dimakan oleh orang-orang tertentu yang dihormati. Hal lain yang menarik adalah peralatan yang dipakai sangat alami. Selain berhubungan dengan pertimbangan kesehatan, di era globalisasi ini persekutuan “makan patita” seperti bebas dari indoktrinasi. Perlengkapannya bukan hasil impor atau sesuatu yang secara tak langsung dipandu oleh model-model yang sedang trend dalam masyarakat global. Hasil amatan lainnya adalah bahwa ternyata semua orang dapat berbaur dan dihargai tanpa padang batasan usia, status sosial, dll. Suasana persaudaraan lebih mendominasi perjumpaan itu dibandingkan pengalaman sehari-hari yang rentan terhadap berbagai kekerasan.

Pengalaman itu sulit untuk dilupakan karena merasuk semangat dan iman. Dengan dibingkai acara makan bersama, pengalaman itu menjadi sesuatu yang sakral. Kesakralan itu terjadi karena suatu misteri kehidupan yang penting yakni persaudaraan dan kesetaraan dapat diaktualisasikan di tengah kenyataan hidup yang semakin individualistis dan saratnya kekerasan. Sesuatu hal yang diresapi karena berharga bagi kehidupan dan memuat prinsip-prinsip penting dari apa yang dinamakan “kehidupan”. Sesuatu yang mengandung roh yang menghidupkan.

III. NILAI-NILAI UTAMA DARI BUDAYA MAKAN PATITA (sebuah interpretasi)

Berikut ini adalah interpretasi terhadap pengalaman “makan patita” dari perspektif teologi kontekstual.

  1. Tradisi makan patita mengandung perayaan tentang pentingnya “kehidupan”. Komponen-komponen, prosesi maupun isi dari perayaan itu bertujuan akhir pada penghargaan terhadap kehidupan. Tipe kehidupan seperti apa yang diharapkan nampak jelas dalam proses “makan patita” itu. Kehidupan yang berbaur dengan pluralitas manusia namun dalam kesetaraan. Semua energi peserta “makan patita” diarahkan untuk sesuatu yang membangun kehidupan. Budaya ini mengangkat eksistensi manusia dengan cara yang dapat dipahami, bahwa manusia didesain untuk kebaikan. [4]
  2. Kegiatan “makan” menjadi sesuatu yang penting namun bukan satu-satunya. Pada saat yang sama “makan” merupakan isi dan alat untuk suatu pemahaman bersama. Manusia diajak bersyukur untuk situasi ke-kini-an yang dihadapi, baik dalam bentuk kekeluargaan, kerelaan, saling melayani maupun saling menghargai. Tujuan kegiatan itu adalah mempersiapkan masa depan dengan mengingat hal-hal berharga yang ditemukan dalam pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lalu tidak juga menjadi sesuatu yang dominan namun diperhitungkan sebagai bagian dari kekayaan hidup yang patut diingat dan diambil semangat­nya. Dalam pengalaman, hal itu dilakukan juga sebagai bagian dari proses rekonsiliasi. “Makan” adalah mengisi kehidupan dengan sesuatu hal yang berguna, dengan aspek ketubuhan, mental-rohani dan relasi sosial. Pengalaman ini mengikat pentingnya hal-hal di atas secara seimbang. Pengalaman mental-kerohanian tidak dapat berjalan tanpa ketubuhan dan relasi sosial yang sehat. Tidak ada hal mental-rohaniah yang dapat diperlihatkan tanpa tubuh dan relasi sosial.
  3. Makan tanpa “meja”. Ini sebuah ciri khas “makan patita”. Dengan beralaskan daun kelapa dan atau batang pohon sagu (=baca gaba gaba), orang menikmati bagaimana rasanya “makan di atas tanah”. Interpretasi simbolik yang dimunculkan dalam model makan patita adalah membuat jembatan untuk variasi “ruang” dan jenjang “kelas” antar manusia yang tercipta sewaktu-waktu dalam relasi sosial. Pesan yang muncul adalah setiap orang dapat berkembang secara bervariasi namun pada hakekatnya semua orang adalah sama. Tidak ada lagi yang lebih rendah dan dapat direndahkan. Di atas “ tanah” adalah sesuatu yang paling mendasar, dan di situlah peserta makan patita diajak merasai dan mengalami kehidupan sederajat dan setara. Untuk menjadi yang lebih atau meningkatkan diri adalah sesuatu yang terbuka, seperti terbukanya langit dan terbentangnya daratan maupun lautan. Namun tidak ada yang lebih rendah daripada yang lainnya. Dengan kata lain, semua mulia dan berharga sebagai anak kehidupan. Perendahan martabat sesama manusia dengan legitimasi apapun adalah kontradiksi dari pesan “makan patita”

Dalam diskursus Feminis, “meja bundar” adalah model yang menunjuk kepada nilai egaliter karena tidak ada “kepala” dan “kaki”. Hal itu sangat bermakna ditengah konteks segregasi maupun hirarki masyarakat. Apalagi “makan di atas” tanah sebagai model yang dipesankan oleh tradisi makan patita, kuat untuk pesan kesetaraan itu. Alasan mendasar terhadap penilaian ini adalah bahwa dalam pengalaman masyarakat Asia-Afrika (bukan hanya Maluku) yang mengalami penjajahan dan ketimpangan kesejahteraan hingga kini, “meja” menunjuk kepada kelas sosial. Banyak masyarakat Asia-Afrika yang diperlakukan sebagai orang yang dianggap hina, bahkan untuk makan dengan menaruh makanan di meja pun tidak selalu bisa. Banyak orang Asia-Afrika hingga untuk “makan” sebagai perngalaman rutin setiap hari pun tidak dapat dilalui dengan penghargaan yang layak.

  1. Semua untuk semua. Pesan yang muncul dari proses “makan patita” adalah pelibatan semua orang dalam perayaan itu. Walaupun pembagian tugas masih dipandang sebagai konsekuensi logisnya namun tidak muncul kepemimpinan tunggal. Sebaliknya, partisipasi semua orang menentukan kualitas “makan patita”. Semakin berkeliaran orang untuk mencari dan menikmati makanan yang disukai, akan terlihat semakin menarik dan berkualitas. Akses semua peserta perayaan itu sama dan tidak terbatas. Akses seperti ini dalam konteks sosial kemasyarakatan adalah kondisi yang ideal namun belum tentu dapat terealisasi secara mudah namun dapat direalisasi dalam “makan patita”.
  2. Hidup yang menghargai alam dengan dinamis adalah pesan berikutnya dari “makan patita”. Alam menyediakan apa yang berguna bagi kehidupan dan oleh karena itu perlu dikelola kelangsungannya. Upaya terhadap hal tersebut tidak hanya dalam mempertahankan apa yang ada secara sempit namun mengembangkannya dalam ilmu pengetahuan yang bijak dan politik yang berorientasi pada kesejahteraan manusia. Tanpa melakukan hal itu, “makan patita” akan menjadi barang langka yang penyebabnya, pada satu sisi, adalah ketidaksejahteraan dan pada sisi yang lain kelangkaan bahan makanan itu sendiri.
  3. Interdependensi. Pesan berikutnya adalah keyakinan tentang prinsip hidup yakni saling ketergantungan. Saling memberi dan menerima adalah kenyataan yang akan bergulir dan mengalir dalam kehidupan dengan tanpa batasannya. Kerelaan untuk memberi akan dibalas dengan hal yang sama pula., yang dalam teologi kitab suci dikenal dengan teodice. Hal mana berhubungan dengan kenyataan bahwa tidak ada seorang manusia pun dapat hidup dengan dan dari dirinya sendiri.

IV. BAGAIMANA CARA BERGEREJA KITA?

Cara bergereja dalam perpektif “gereja yang mandiri” adalah sebuah PILIHAN. Pilihan untuk menimbang hal-hal yang kontekstual bagi pengembangan yang menyatu dengan masyarakat. Dalam sejarah GPM, kemandirian dana, daya dan teologi telah dikumandangkan puluhan tahun yang lalu. Kemandirian itu mengisyaratkan keterbukaan terhadap pembaruan eklesiologi yang kontekstual yang berdasar pada pandangan teologi yang kontekstual.

Cara bergereja yang kontekstual dengan menggunakan model makan patita memberi gambaran tentang orientasi bergereja yang menyokong kehidupan dengan prinsip dasar kesetaraan dan pelayanan dari semua untuk semua. Hal itu kemudian, selayaknya akan menjadi filter bagi pemilihan model struktur yang melayani. Hal ini menjadi penting dalam kenyataan pengkotakan komunitas berjemaat berdasar pola hirarki, pendeta sentris dan polarisasi awam dan klerus. Prinsip dasar untuk meletakkan kembali pemahaman tentang gereja yang berbasis pada model “makan patita” dan pengalaman transformasi bersama karena terhisab dalam partisipasi aktif semua komponen untuk merayakan kehidupan.

Mengapa Model “makan patita” ini dianggap layak? Oleh karena nilai-nilai dasarnya “Injili”, misalnya: pelayanan, kesetaraan, keharmonisan dengan alam, totalitas hidup yang meliputi ketubuhan, mental-rohani dan relasi sosial yang terbuka dan merayakan perbedaaan yang ada.

Fungsi ganda dari pemikiran ulang tentang model bergereja yang kontekstual ini meninjau secara kritis model bergereja yang telah ada dan dipergunakan, mempertimbangkan kekayaan budaya yang mengutamakan nilai-nilai kehidupan, dan melakukan transformasi terhadap perkembangan kehidupan bergereja ke masa depan. Model gereja yang telah dipergunakan bukanlah sesuatu harga mati dan sempurna yang tidak bisa diutak-atik oleh karena model itupun lahir dari konteks yang dinamis yang sebelumnya mungkin belum ada dan di-ada-kan oleh karena perkembangan masyarakat dan pemikiran tentang nilai-nilai utama kekristenan. Di mana-mana budaya setempat layak untuk dipertimbangkan terus-menerus oleh karena Allah berkarya dalam setiap upaya baik manusia. Persoalannya adalah kepentingan politis manusia (relasi kuasa) sering mendominasi budaya manusia. Namun hal itu terjadi dalam semua buday manusia, termasuk pengalaman manusia yang diungkapkan di dalam kanon Alkitab. Berhubungan dengan hal di atas maka proses transformasi adalah kemung­kinan dalam rentetan perubahan yang diinginkan.

Model bersekutu (=bergereja) yang didasarkan pada budaya setempat, seperti makan patita, sangat dipahami oleh komunitas sehingga aktualisasi dan pergerakannya akan dipahami sebagai bagian dalam komunitas dan bukannya sesuatu yang asing dan hanya dicangkokan dalam komunitas bergereja di Maluku. Hal ini kelihatannya sepele namun bonding antara komunitas dengan nilai maupun bingkai struktur yang ditawarkan memberi nuansa dan daya lekat yang lebih kental.

V. PENUTUP

Upaya ini adalah upaya awal untuk meninjau terus-menerus proses bergereja dengan itikad untuk membangun persekutuan yang tidak mengalienasi suatu hal tertentu tetapi sebaliknya membangun kebersamaan yang pilar-pilarnya sudah ada dan berada di sekitar konteks kita sendiri. Banyak pula unsur budaya lainnya yang dapat dipakai terus dengan interpretasi yang dinamis untuk membangun kehidupan bersama.



[1] Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology (Orbis Books, 1992), hlm. 47-62. Dia mengemukakan beberapa model Teologi Kontekstual, di antaranya adalah “model antropologis” yang cocok sebagai pendekatan untuk memperlihatkan pertautan dan cara pandang yang tulus terhadap budaya manusia, termasuk yang selama ini disubordinasi oleh budaya Barat maupun Timur Tengah (sebagai lokasi awal penyebaran kanon Alkitab).

[2] Bahasa tanah adalah istilah yang umum dipakai untuk menyebut bahasa asli daerah-daerah di Maluku (Tengah).

[3] Cerita ini cukup berbeda dengan kesan yang saya sering dengar dan baca, yang menekankan kedekatan orang Maluku beragama Kristen dengan Belanda. Bahwa demi kenyamanan dan mendapatkan perlakuan istimewa maka bahasa yang sebaiknya dipergunakan adalah bahasa Melayu atau bahasa Belanda.

[4] Lih. Piero Ferruci, The Power of Kindness: The Unexpected Benefits of Leading a Compassionate Life (Penguin Group, 2007).

Friday, January 18, 2008

Darah Kental Penyebab Keguguran

Jika istri tercinta berulang kali keguguran tanpa sebab, jangan dulu menganggap Anda tak bakal punya keturunan. Siapa tahu, istri Anda terpapar ACA. Namun, jangan khawatir, banyak peluang untuk menyelamatkan calon buah hati.

Diduga, ACA terjadi akibat kondisi polusi udara di perkotaan. "Sampai saat ini belum ditemukan penyebabnya (yang pasti). Virus dan bakteri yang dituding sebagai penyebabnya pun baru dugaan saja," jelas dr. Adi Sukrisno, Sp.OG.

"Kelainan ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal, keturunan. Bila dalam silsilah ada riwayat keguguran, garis wanita yang berada di bawahnya perlu lebih waspada. Apalagi jika kehamilan sebelumnya pernah mengalami keguguran berulang, janin mati dalam kandungan dan preeklampsia," kata dr. Adi.

Untungnya, ibu hamil yang mengidap ACA tidak melahirkan bayi cacat, seperti halnya jika terkena penyakit infeksi yang disebabkan toksoplasma.

Cepat lelah dan pusing

Dalam keadaan normal, antibodi sebetulnya merupakan kumpulan protein yang dibentuk oleh sistem kekebalan tubuh untuk memerangi substansi yang dianggap asing oleh tubuh (di antaranya bakteri, virus). Celakanya, tubuh salah menilai pada kehamilan ini.

Pada kasus ACA, persisnya tubuh mengeluarkan antibodi yang digunakan untuk menyerang anticardiolipin yang dianggap musuh, meski sebetulnya itu merupakan bagian dari membran. Kemunculan antibodi anticardiolipin inilah yang membuat darah individu jadi lebih kental. Antibodi ACA juga mendorong terjadinya trombosis atau pembekuan darah dalam pembuluh darah.

Bisa dibayangkan, gara-gara ACA organ-organ penting bisa terganggu fungsinya, semisal pembuluh darah arteri, vena, maupun jantung. Gawatnya lagi, jika terjadi pada ibu hamil, bekuan darah di plasenta akan mengganggu pasokan zat gizi dan oksigen bagi janin. Janin jadi tidak bisa berkembang atau meninggal dalam kandungan.

Bisa ditebak akibatnya, terjadi keguguran kandungan. Biasanya keguguran terjadi pada usia kehamilan 3 - 4 bulan. Ketidakberesan biasanya tak disadari, karena gejalanya mirip dengan yang biasa dialami ibu hamil. Semisal cepat mengantuk, cepat lelah, sering pusing, dan sulit konsentrasi. Namun setidaknya, masih ada tanda lain yang dapat dijadikan acuan, yaitu bila setelah lewat empat bulan, keluhan di atas tidak menghilang. Normalnya, lewat empat bulan keluhan itu hilang.

Gejala lainnya, tekanan darah meningkat tanpa penyebab pasti. Gejala itu makin menguatkan kecurigaan akan adanya ACA, jika sebelum hamil tekanan darah calon ibu normal saja.

Risiko kehadiran ACA terhadap janin tak bisa dipandang sebelah mata. Soalnya, kebutuhan pasokan makanan bagi janin akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia janin. Sementara di saat bersamaan, antibodi anticardiolipin yang terbentuk semakin banyak, sehingga pasokan zat gizi dan oksigen untuk janin semakin terhambat. Akibatnya, bisa saja sejak awal janin tak pernah terbentuk alias meninggal dalam periode embrio. Kalaupun mampu bertahan, berat badan bayi yang lahir rendah.

Perlu rajin kontrol

Bila ada kecurigaan adanya antibodi anticardiolipin dalam darah ibu yang mengalami keguguran berulang, ia dianjurkan menjalani tes ACA.

Melalui tes ini diketahui kadar IgG dan IgM. Parameter ini bisa dijadikan pegangan untuk memastikan adanya paparan ACA atau tidak.

Masih menurut dr. Adi, berdasarkan kadar ACA-nya, penderita ACA bisa digolongkan dalam tiga tingkatan. Tergolong mild jika IgGnya berkisar antara 15 - 20, moderate jika antara 20 - 80, dan high jika di atas 80. Sedangkan tingkat kekentalan darah bisa diketahui dengan mengukur cepat-tidaknya darah yang bersangkutan membeku.

"Kalau orang normal darahnya akan membeku dengan tolok ukur waktu 25 - 40 detik, maka pada penderita ACA bisa kurang dari 25 detik sudah membeku," terang dokter yang berpraktik di RS PELNI, Jakarta ini.

Setelah mengetahui positif terpapar ACA, selain ke dokter ahli kandungan, ibu hamil perlu juga memeriksakan diri secara teratur ke dokter ahli penyakit dalam untuk memantau kondisi darahnya. Setidaknya, dua kali lebih sering dibandingkan dengan kehamilan normal. "Biasanya sebelum tujuh bulan, ibu yang terpapar ACA perlu berkonsultasi dua minggu sekali. Di atas tujuh bulan, frekuensinya meningkat jadi seminggu sekali sampai menjelang persalinan," kata dokter yang bermukim di Cinere ini.

Ibu hamil yang terpapar ACA juga harus menjalani tes laboratorium enam minggu sekali. Dari hasilnya, dokter penyakit dalam akan mengetahui kadar antibodi anticardiolopin pasien dan akan memberikan pengobatan. Semakin tinggi kadarnya, kian besar pula risiko terjadinya keguguran. Jadi, semakin besar juga usaha yang diperlukan untuk menurunkan kadar antibodi itu.

Bila antibodi anticardiolipin masih dalam batas aman, pengobatan cukup dengan tablet sejenis aspirin (yang kemampuannya mempertahankan bayi hanya 40%). Pada pemeriksaan berikutnya, internis akan menilai respons pengobatan berdasarkan hasil laboratorium terbaru. Bila kadar antibodi anticardiolipin tetap atau meningkat, pemberian obat akan dibarengi dengan suntikan heparin atau fraksiparin maupun suntikan lain sejenis yang harus dilakukan setiap hari. Obat yang disuntikkan bukan bertujuan menurunkan antibodi anticardiolipin, melainkan menjaga agar antibodi tak menyebabkan trombosis alias pengentalan darah.

Suntikan itu relatif aman buat wanita hamil karena terbukti tidak menembus barier plasenta, hingga tak ada kemungkinan terserap janin ataupun mengganggu pertumbuhannya. "Suntikan sebaiknya dilakukan hingga setelah ibu melahirkan. Sebab, jangan sampai kejadian bayinya selamat, namun ibunya lupa dijaga kadar kekentalan darahnya," ujar dr. Adi, yang memperkirakaan biaya untuk terapi suntik ini bisa mencapai Rp 3,5 juta per bulan.

Dari penelitian yang pernah dilakukan dr. Karmel L. Tambunan terhadap 232 pasien ACA selama 1997 - 2001 diketahui, kombinasi terapi obat dan suntik mampu meningkatkan peluang kesembuhan ACA menjadi sekitar 74 - 96%. Hasil penelitian selama ini di Indonesia menunjukkan, 97% ibu hamil dengan ACA melahirkan bayi normal.

Bila terapi suntik harus dijalani, si ibu sendirilah yang melakukan penyuntikan di sekitar perut setiap hari. Atau, bisa juga dengan bantuan suami. Lewat terapi obat dan suntikan, darah diharapkan makin encer. Tentu dengan catatan, si ibu harus rajin kontrol dan teratur menjalani terapi.

Untuk proses persalinannya, pada dasarnya tak beda dengan ibu hamil lainnya. Si ibu tetap bisa melahirkan normal, jika memang tidak ada indikasi lain. Hanya saja, tim medis harus tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya pembekuan darah saat persalinan. Alasan ini pula yang dijadikan salah satu pertimbangan diperlukannya tindakan caesar. Terlebih jika terjadi persalinan lama atau lebih dari delapan jam.

Cukup Minum Encerkan Darah

Mengingat kehamilan dengan ACA termasuk kelompok kehamilan risiko tinggi, sebaiknya ibu hamil menjaga kehamilannya dengan ekstra hati-hati.

Ia mesti istirahat dalam durasi yang cukup, tidur delapan jam sehari, menurunkan stres, makan secara benar baik kualitas maupun kuantitas. Aktivitas lain bebas dilakukan asal tak membahayakan kehamilan.

Kendati belum diketahui makanan apa yang bisa membantu mengencerkan darah, ibu hamil dengan ACA amat dianjurkan mengonsumsi makanan yang serba alami. Pengawet dan menyedap masakan, juga junk food, sebaiknya dihindari. Tujuannya untuk meminimalkan benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh.

Dianjurkan minum banyak air putih minimal dua liter sehari. Mereka yang jarang minum air putih dikhawatirkan darahnya semakin kental. Padahal tubuh tetap mengalami penguapan lewat keringat dan cairan melalui urine. Namun, itu tak berarti air putih bisa langsung mengencerkan darah penderita. *

Wednesday, January 2, 2008

Kepemimpinan Dari Perspektif Perempuan

Perjalanan peradaban memperlihatkan silih berganti pola-pola ke­pe­mimpinan yang turut mempengaruhi maupun di­pengaruhi oleh situ­asi. Dengan kata lain, pola-pola yang dite­rapkan tidaklah sama persis konsepsi dan aplikasinya namun sangat berhubungan dan dicirikan oleh konteksnya. Makna kepe­mim­pinan barulah dapat dinilai secara wajar di dalam konteksnya.

Di dalam konteks masa kini, apakah dan bagaimana kepe­mim­pinan yang diharapkan? Hal ini tidaklah mudah dijawab, anta­ra lain ka­re­na dua hal:
  1. Persoalan yang dihadapi masyarakat kini demikian kom­pleks­nya, membingungkan dan tidak cukup mudah melihat kore­la­si­nya dengan jenis kepemimpinan tertentu. Sean­dai­nya masa­lah­nya cukup jelas untuk dijawab, mungkin ti­dak­lah sulit memilih pemimpin.
  2. Masalah kepemimpinan itu gampang-gampang susah. Tanpa pe­mim­pin yang spesifik pun masyarakat ini, bagaikan or­gan­is­me, da­pat berkembang dengan kemam­puan adaptasinya terha­dap peru­ba­han dan perkem­bangan yang ada. Namun karena per­kem­­bangan yang diha­rap­kan adalah dengan tidak membiar­kan per­ma­salahan me­nu­­­ju fatalisme maka “mengawal pera­dab­an” ada­­lah pilihannya.

Persoalan yang selalu muncul dalam kepemimpinan adalah membuat pilihan hidup bersama dalam tatanan yang membawa perubahan. Seka­lipun demikian hal itu tidaklah selalu menjadi satu-satunya pi­lih­an yang tepat karena kepemimpinan adalah gejala sosial yang rentan ter­ha­dap kecenderungan korupsi, manipulasi dengan pola relasi keku­a­sa­an yang timpang maupun hirarkis dengan gap yang kaku. Individu mau­­pun kelompok yang dominan cenderung berkeinginan melang­geng­kan kepemim­pinannya dan imbas dari kecenderungan manusiawi itu adalah konflik, kekerasan, manipulasi, dan lain-lain. Sejarah dunia mau­pun sejarah persekutuan manusia tertentu (= gereja) mem­per­li­hat­kan hal itu dengan ekses-ekses, baik yang dapat dilihat secara ka­sat ma­ta maupun terselubung dengan rapatnya di dalam struktur dan sis­tem yang ada.

Gelutan ini membawa kita dalam pelajaran dari sejarah yang sangat berharga untuk terus mencari peluang-peluang yang masih ada ba­gi relasi manusia yang lebih bermartabat dalam perspektif apapun.

Menelisik definisi-definisi kepemimpinan secara tradisional

Sebagai suatu gejala sosial maka muatan substansi maupun bentuk kepemimpinan cukup bervariasi. Contoh yang dapat dilihat dengan gamblang adalah banyaknya definisi yang dibuat oleh aka­de­misi berhubungan dengan sudut pandangnya. Stogdill (1974: 259) menyimpulkan bahwa terdapat hampir sama banyaknya definisi ten­tang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba men­definisikannya. Lebih lanjut, Stogdill (1974: 7-17) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai konsep manajemen dapat dirumuskan dalam ber­­bagai macam definisi, tergantung dari mana titik tolak pemi­kirannya.

Banyak sekali definisi kepemimpinan yang sudah dibuat, misalnya: dengan mengutip pendapat beberapa ahli, Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1977: 83-84) mengemukakan beberapa definisi ke­pe­mimpinan, antara lain:

  • Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok (George P.Terry).
  • Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum (H।Koontz dan C। O'Donnell).
  • Kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada su­atu keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi ke arah ter­ca­painya sesuatu tujuan (R. Tannenbaum, Irving R. F., Massa­rik).

Untuk lebih mendalami pengertian kepemimpinan, di bawah ini a­kan dikemukakan beberapa definisi kepemimpinan lainnya seperti yang dikutip oleh Gary Yukl (1996: 2), antara lain:

  • Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi se­di­kit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pe­nga­­rah­an-pengarahan rutin organisasi (Katz dan Kahn).
  • Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivi­tas sebu­ah kelompok yang diorganisasi ke arah pen­ca­pai­an tu­ju­­­an (Rau­ch dan Behling).
  • Kepemimpinan adalah proses memberi arti terhadap usaha ko­lek­­tif yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diingin­kan untuk mencapai sasaran (Jacobs dan Jacques).

Menurut Wahjosumidjo, butir-butir pengertian dari ber­bagai definisi kepemimpinan, pada hakekatnya memberikan mak­na:[1]

  • Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pe­­mim­­­pin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti kepribadian, ke­mampuan, dan kesanggupan.
  • Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan pemimpin yang ti­dak da­pat dipisahkan dengan kedudukan serta gaya atau peri­laku pemimpin itu sendiri.
  • Kepemimpinan adalah proses antar hubungan atau interaksi an­­­tara pemimpin, bawahan dan situasi.

Dari sudut pandang yang terlihat dapat dicatat minimal tiga hal, yakni:

  1. Para pakar memperlihatkan bahwa kepemimpinan rentan ter­ha­dap dominasi satu orang atau kelompok pada yang lainnya. Ke­pe­mimpinan terlalu berfokus kepada figur pemimpin dengan ke­ku­­atan mempengaruhi, kekuasaan dan kewibawaan.
  2. Pada kutub yang lain terdapat kelompok yang dipengaruhi dan mengambil posisi lebih banyak sebagai perespons dari berbagai cara dan gaya kepemimpinan itu. Kelompok ini memang mem­punyai kekuatan dan kekuasaan namun dalam mencapai tujuan bersama terlihat pada posisi yang pasif.
  3. Kepemimpinan berhubungan terlalu erat dengan tiga faktor esen­­sial yaitu : kekuasaan (power) yang selalu didefinisikan se­ba­gai keku­atan, otoritas dan legalitas yang memberikan we­wenang kepada pemimpin untuk mem­pengaruhi dan meng­gerakkan bawahan untuk berbuat sesu­atu, kewibawaan (cha­ris­ma) kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga orang mampu “membawahi” atau mengatur orang lain, sehingga orang terse­but patuh pada pemimpin dan ber­sedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.yang didefini­si­kan sebagai dan kemampuan (ca­pa­­bility) yakni segala daya, ke­sang­gupan kekuatan dan keca­kapan ketrampilan teknis maupun sosial, yang diang­gap mele­bihi dari kemampuan anggota biasa. Ketiga faktor dominan tersebut, akan memberikan corak pada tipe atau gaya kepemim­pinan seseorang, Makin besar kekuasaan, kewiba­wa­an dan ke­mam­­puan yang dimiliki seorang pemimpin, maka makin be­sar pe­luang kepemimpinannya untuk berhasil.

Hal-hal di atas memperlihatkan kecenderungan yang timpang ter­hadap ak­ses kelompok yang dipimpin dan yang dianggap tidak bisa memimpin dan juga figur di belakang sang tokoh pemimpin.

Dalam konteks Indonesia pun, yang menjadi sentral adalah sang pemimpin dan kepemimpinan itu di back up dengan sangat kaku oleh norma yang sering diperkuat pula oleh formula-formula penghu­ku­­­man dari pihak transenden atau yang disebut Max Weber sebagai Otoritas Rasional, yaitu legitimasi kepemimpinan yang didasarkan pa­da otoritas yang berbasis prinsip-prinsip (konsep-konsep) yang rasional (nalar), sebagai basis sistem pengukuhannya dan Otoritas Tradisional, yaitu legitimasi kepe­mimpinan yang didasarkan pada otoritas penga­kuan masyarakat secara tradisional dan melembaga. Sedangkan Otori­tas Karis­matik, yaitu legitimasi kepemimpinan yang di­da­sarkan otori­tas kharisma, sebagai kelebihan kemampuan yang mele­kat pada sese­orang, yang tidak dipunyai oleh orang lain kemudian tenggelam dalam per­ta­rung­an internal dengan partai dan lem­baga-lem­baga legislatif saja. Wakil rakyat disamakan dengan rakyat dan rakyat diposisikan sebagai penonton dalam kancah itu.

Pengaruh kepemimpinan paling dominan terlihat pada fase sebe­lum dan proses menjadi pemimpinan namun setelah itu pengaruh itu ti­dak terlalu berpengaruh lagi karena back up yang cukup kuat dari norma dan birokrasi.Lalu yang agak aneh, pola hubungan yang hirarkis di­sah­kan begitu saja dan posisi pemimpin menjadi sangat kuat bukan karena upaya untuk mempengaruhi rakyat dengan pola hubungan dia­lo­gis na­mun oleh tradisi kepemimpinan yang kaku dan baku.

Mencari dari Hasil Refleksi dan Aksi: Adakah Hubungannya dengan Gender?

Dalam bagian ini, tidak ada maksud membuat perbandingan ter­ha­dap masa lalu. Yang ada adalah upaya belajar untuk meng­hayati kon­teks dengan jujur. Dengan demikian kiprah masa kini tidak terpa­sung da­­­lam romantisme masa lalu maupun sebaliknya keengganan untuk be­la­­jar dari masa lalu sebagai guru yang baik itu.

Dari kenyataan yang di Indonesia, baik secara statistik maupun ku­­alitatif terlihat bahwa kepemimpinan perempuan masih sangat kecil peranannya dalam kehidupan masyarakat. Teridentifikasi minimal dua a­la­­san, yakni bahwa:

  • Peluang untuk menguji dan mengasah kepemimpinannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah tertentu saja. Walaupun ternyata sebagian perempuan dapat mengubah tantangan menjadi pe­lu­ang namun sebagian lain belum bisa keluar dari tantangan itu.
  • Kebudayaan dominan memberi mempengaruhi begitu kuat se­hing­ga perempuan menyadari kepemimpinannya pada wilayah-wilayah tertentu saja. Dan tidak tidak menyadari keseluruhan po­­ten­sial karena aspek internal diri perempuan

Beban-beban itu diklasifikasi Mansur Fakih[2] sebagai berikut:

  • Stereotype
  • Beban ganda
  • Diskriminasi
  • Marjinalisasi
  • Kekerasan

Sekalipun dalam kenyataan sejarah banyak sekali perempuan yang men­jadi pemimpin suku, agama, tokoh kemerdekaan, pahlawan anti pen­ja­jahan di daerah-daerah. Terlihat masih terdapat keberatan-kebe­ratan se­pi­hak terhadap kekayaan nilai dan substansi kepemimpinan kelompok yang selama ini hanya dipimpin, sedang­kan pada pihak lain kenyataan dunia memperlihatkan bahwa per­gu­mulan dunia tidak cukup untuk di­cari jalan keluar hanya dengan kenderungan pola dan kearifan ke­pe­mim­pinan dari yang selama ini disebut kelompok dominan (ketu­runan ter­tentu - raja, bangsawan, dll), kelompok dewasa, masyarakat dari ras, e­tis, agama, sex tertentu, serta kegagalan di mana-mana karena pola-pola ke­­pemim­pinan yang terapkan oleh kelompok dominan bahwa diser­ta­i dengan gejala-gejala peghancuran dunia yang baru. Kita sam­pai pada ke­simpulan bahwa: inspirasi dari pengalaman, pengetahuan serta kebi­jak­­­sanaan kelompok yang selama ini rela dipimpin tenyata harus masuk dalam mainstreaming kepemim­pinan di mana-mana. Secara khu­sus ka­um perempuan dari berba­gai lapisan, tempat, dan ras dari masya­rakat dan juga laki-laki dari lapisan bawah, anak-anak laki-laki dan pe­rem­pu­an, laki-laki dan perempuan yang miskin, dari agama tertentu yang mi­no­­ritas, dan lain-lain.

Saya sampai pada keyakinan bahwa masalah gender ber­hu­bung­an erat dengan kepemimpinan. Menurut hasil penelitian bebe­rapa ha­sil, terdapat bukti-bukti bahwa sekalipun proporsi perempuan dalam posisi­-posisi manajer meningkat tetapi tetap saja terdapat kera­guan me­nge­nai keahlian kepemimpinan perempuan (Still, 1997) dan laki-laki (khu­sus­nya manajer) masih terus mendefinisikan manajemen dalam istilah-isti­lah laki laki. (Brenner, Tomkiewicz, & Schein, 1989; Heilmann, Block, Mar­tell, & Simon, 1989; Schein & Mueller, 1992).

Sally A. Carless mencatat beberapa hasil penelitian yang mem­per­lihatkan bahwa perbedaan gender telah merupakan salah satu peng­ham­bat posisi perempuan dalam kepemimpinan, antara lain yang dila­ku­kan oleh Bass pada tahun 1990. Kemudian terjadi perkembangan dari hasil studi Slowly pada tahun 1990 serta Eagly dan Johnson yang mampu meloka­si­kan 162 gaya kepemimpinan laki laki dan perempuan.

Oleh karena itu, berbicara tentang kepemimpinan mestilah ber­bi­cara tentang hubungan gender. Beberapa hasil penelitian yang da­pat mem­­buktikan hal itu misalnya:

1. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam The Asian Pacific American Women’s Leadership Institute (APAWLI) menya­ta­kan dari hasil pene­li­tian­nya, bahwa cara-cara yang penting menurut kaum pe­rem­­­puan ini adalah: cara-cara inklusif, kolaborasi, membangun konsen­sus, kepemimpinan yang didasarkan pada prinsip-prinsip, hubung­an dan pelayanan etis. Dimensi-dimensi dari cara memimpin seperti di a­tas adalah:

  • Pengontrolan Diri
  • Visi
  • Belas Kasih
  • Empati
  • Kemampuan Komunikasi
  • Fondasi Spiritual
  • Keterbukaan Menerima Resiko

2. Hasil penelitian Judy Rosener "Ways Women Lead,", yang dikutip Laraine R. Matusak, terungkap bahwa:[3]

that men usually describe themselves in ways that characterize "transactional leaders." They see their jobs as a series of transac­tions with subordinates in which rewards are exchanged for ser­vices. They are more likely than women to use power that comes from their organizational position and formal authority.

Rosener says that women, on the other hand, tend to describe them­selves in ways that characterize "transformational leaders." As she interviewed women leaders, she found ways that they tend to share power and information, encourage participation, enhance other people’s self worth, and get others excited about their work. Persons who work with them are encouraged to contribute in order to feel powerful and important.

Dalam perjumpaan yang kontekstual, ternyata terdapat beberapa dimensi baru ditampilkan sebagai hasil dari pengalaman dan refleksi. Secara khusus memposisikan kelompok yang selama ini disub­or­dinasi dan dipinggirkan dalam kancah kepemimpinan masyara­kat se­ba­gai ke­lompok yang memiliki keunikan spiritualitas yang dapat mem­be­rikan horison lain tentang kepemimpinan. Terlihat di atas adalah ka­um pe­rem­puan. Terdapat juga kelompok lain, yakni kelompok masya­ra­­­kat bia­sa, ma­­syarakat mskin dan secara khusus kelompok perempuan.

Kelompok ini meliputi 80% dari jumlah penduduk di Indonesia dan daya dukungnya terhadap perubahan masyarakat masih dia­bai­kan ma­lah kenyataannya dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi peru­sa­ha­an-perusahaan multi nasional dan internasional dan menjaga devisa ne­ga­ra dari sektor industri. Sekalipun, dalam kondisi itu tetap saja perju­angan hak asasi dilakukan namun energi dan kearifan yang ada belum terpakai dalam perkembangan per­adaban manusia. Selama ini dieksplo­itasi sebagai sisi gelap dari peradaban manusia.

Kelompok ini adalah bagian dari realita masyarakat Asia, ter­ma­suk Indonesia dan bukan semata-mata tanggung jawab dari kaum pe­rempuan tetapi dari komunitas dengan budaya domi­nannya. Bagai­ma­­­na komunitas secara arif memulihkan situasinya kini dengan peng­galan-penggalan luka yang belum tentu sudah kering.

Satu hal yang bisa dilaksanakan saat ini adalah belajar dari kelompok ini tentang dimensi-dimensi baru dari kepemimpinan yang la­yak untuk dipakai sebagai bagian integral dari paradigma kepemim­pinan yang kontekstual.

Kenyataan dalam Alkitab tentang Kepemimpinan Perempuan

Bagian ini sengaja tidak ditempatkan di bagian awal tulisan dengan tujuan supaya kenyataan apa adanya ditampilkan dan Alkitab tidak menjadi ukuran untuk hal ini. Namun jika kita mau mene­lu­su­ri­nya juga, maka terdapat sumber-sumber berita dan tafsiran yang me­nya­­takan kepemimpinan perempuan dalam posisi-posisi kunci.

Karen L. King melihat peran yang sangat penting dalam se­ja­rah kepemimpinan perempuan sebagai berikut:

Maria Magdalena adalah benar-benar figur yang berpengaruh, tetapi sebagai seorang murid terkemuka di salah satu sayap gerakan Kristen mula-mula yang mempromosikan kepemim­pin­an perempuan. Menurutnya, beberapa ahli bahkan menya­ta­kan bahwa mayoritas orang Kristen pada abad pertama adalah perempuan. Dalam surat-surat Paulus disebut nama: Prisca, Junia, Julia, and saudara perempuan Nereus, yang be­ker­ja dan melakukan perjalanan misi sebagai rekan dari suami atau kakak laki lakinya (Roma 16:3, 7, 15). Euodia dan Sinti­khe disebut pekerja Injil (Filipi 4:2-3). Beberapa pendiri je­ma­at rumah, sebuah strategi berhubungan peraturan di Roma yang menganggap kekristanan bukan hal yang legal. (Apfia di Filemon 2; Priska di I Korintus 16:19). Juga Lidia dari Tiatira (Kis.16:14) dan Nimfa dari Laodikia (Kolose 4:15). Juga me­nangani administrasi dan penyembahan, pela­yan­an dan nu­bu­a­t­an (Roma 16:1, I Korintus 11). Tidak hanya hal-hal este­ti­ka te­tapi juga khotbah umum, pengajaran, pemimpin doa, pe­la­yan perjamuan (A later first century work, called the Didache, as­sumes that this duty fell regularly to Christian prophets).

Dari sebagian kecil ini saja dapat kita lihat bahwa permasalahan ten­tang kepemimpinan perempuan terletak pada:

  • Siapa yang berkuasa dan berpengaruh untuk menyatakan bah­wa perempuan lebih rendah daripada laki laki.
  • Apakah legitimasi budaya dan agama yang ada untuk men­sah­kan hal tersebut.
  • Apakah terbuka peluang bagi perempuan untuk memberi rea­k­si secara individual, kelompok maupun sistem sehingga ter­da­pat proses tawar menawar untuk perubahan masyarakat.

Persoalan kepememimpinan dalam perspektif teologis dapat dikembangkan sehingga teologi gereja membuka peluang bagi parti­si­pa­­si semua orang membanguna dunia, dan bukannya menutur ruang ba­gi kehidupan berbagi yang lebih bermartabat.

Membuat Definisi Kepemimpinan dari Pengalaman Perempuan

Dalam bagian ini saya mencoba mengangkat dimensi-dimensi yang penting, belajar dari paparan di atas antara lain:

  • Pengontrolan diri: Pengontrolan diri merupakan dimensi aktual untuk semua pe­mim­­­pin dalam berbagai sektor. Terhadap kecenderungan dipolitisir mau­pun mempolitisir orang lain, pengontrolan diri adalah rambu yang arif. Melalui pengontrolan diri terbuka horizon untuk membaca situasi de­ngan bebas atau tidak terikat pada kepentingan temporer diri sendiri. Pengontrolan diri akan membuat pemimpin memper­tim­­bangkan semua mi­­si yang gamang terhadap hasil yang instan.
  • Visi:Daya yang dimiliki karena kompleksitas pengalaman dan perkem­bangan budi seseorang. Hal itu perlu dilanjutkan dengan ka­pa­si­tas untuk menggerakkan yang lain itu meyakini visi kita. Menciptakan inovasi baru untuk memperlihatkan berperannya dimensi-dimensi yang dianggap dan dilakukan perempuan sebagai bagian dari kepemim­pin­an­nya.
  • Belas kasih: Belas kasih (compassionate) diperlukan dalam setiap kepemim­pi­n­­an, khususnya untuk yang takut untuk melakukan tindakan nyata. Hal ini diperlukan sehingga peluang tidak tertutup namun tanpa batas ter­buka dengan sabar bagi perkembangan yang berbeda dari setiap manu­sia.
  • Empati:Empati adalah pengembangan dari sensitifitas, yakni untuk meng­­ambil beban orang yang dipimpin dan dalam suasana itu memikir­kan jalan keluar dengan tidak menjadikan kesulitan orang yang dipim­pin sebagai alasan menjadikannya obyek atau orang yang terikat dalam ke­tergantungan dengan pemimpin. Saya setuju dengan kesimpulan yang dibuat APWLI bahwa dengan empati maka akan terjadi pemberdayaan kelompok marjinal sehingga “para pemimpin yang diam” akan berdaya untuk masuk ke a­rus tengah partisipasi dalam masyarakat dan meng­abaikan pandangan u­mum tentang konsepsi kepemim­pinan yang bias gender itu.
  • Kemampuan komunikasi:Kemampuan ini dipelajari dari pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman berkomunikasi dari kebanyakan orang yang bukan memim­pin tidak berarti lebih rendah kualitasnya dengan kelompok dominan ini. Variasi bentuk komunikasi dapat bermanfaat untuk dipili dalam konteks yang khusus.
  • Fondasi spiritual:Spiritualitas adalah daya yang untuk untuk memaknai berbagai proses dalam kehidupan dengan sudut pandang etis dan kreatif bahkan teologis sehingga muncul berbagai kemampuan termasuk kemampuan bertahan (survive) maupun menjadi agen perubahan. Dari hasil peneli­tian itu disimpulkan antara lain: bahwa kaum perempuan di Asia meng­gu­­nakan nilai-nilai yang berbeda beda untuk proses mendinamisasi ke­ku­asaan dan kepemimpinan. Pengalaman untuk membuat tantangan men­­­jadi kesempatan, dengan melihatan tantangan sebagai undangan un­tuk membuat perubahan. Perempuan-perempuan ini menemukan hal-hal strategis penting untuk mengembangkan hal-hal etis, kepedulian dan kepemimpinan yang berbelas kasih, dan sharing menjadi ajang dan pendekatan untuk studi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk institusi.
  • Keterbukaan menerima resiko:Keterbukaan menerima resiko ini bagian komitmen untuk mene­ri­ma diri sebagaimana adanya (termasuk yang dapat melakukan keke­li­ru­an maupun kesalahan) dan menerima kecenderungan tantangan yang berubah menjadi ancaman. Pemimpin yang terbuka menerima re­si­ko ada­lah yang konsisten terhadap komitmen maupun integritas dirinya.
Demikianlah beberapa dimensi penting dari kepemimpinan yang berorientasi kepada transformasi.

[1] Wahyosumidjo (1984), hal. 26.

[2] Mansur Fakih, Gender dan Seksualitas,

[3] Judy B. Rosener, "Ways Women Lead." Harvard Business Review. Cam­bridge, MA: Harvard University Graduate School of Business, November-December 1990, p. 125 dalam Larraine R. Matusak, et.al., (eds.), Leadership: Gender Related, Not Gender Specific, (Concepts, Challenges, and Realities of Leader­ship: An International Perspective. Selected Proceedings from the Salzburg Seminar on International Leadership.