Salam Jumpa Dunia!

Welcome to Nancy Souisa's weblog. This blog is an expression of my wrestling and emotions as a woman.

Friday, January 18, 2008

Darah Kental Penyebab Keguguran

Jika istri tercinta berulang kali keguguran tanpa sebab, jangan dulu menganggap Anda tak bakal punya keturunan. Siapa tahu, istri Anda terpapar ACA. Namun, jangan khawatir, banyak peluang untuk menyelamatkan calon buah hati.

Diduga, ACA terjadi akibat kondisi polusi udara di perkotaan. "Sampai saat ini belum ditemukan penyebabnya (yang pasti). Virus dan bakteri yang dituding sebagai penyebabnya pun baru dugaan saja," jelas dr. Adi Sukrisno, Sp.OG.

"Kelainan ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal, keturunan. Bila dalam silsilah ada riwayat keguguran, garis wanita yang berada di bawahnya perlu lebih waspada. Apalagi jika kehamilan sebelumnya pernah mengalami keguguran berulang, janin mati dalam kandungan dan preeklampsia," kata dr. Adi.

Untungnya, ibu hamil yang mengidap ACA tidak melahirkan bayi cacat, seperti halnya jika terkena penyakit infeksi yang disebabkan toksoplasma.

Cepat lelah dan pusing

Dalam keadaan normal, antibodi sebetulnya merupakan kumpulan protein yang dibentuk oleh sistem kekebalan tubuh untuk memerangi substansi yang dianggap asing oleh tubuh (di antaranya bakteri, virus). Celakanya, tubuh salah menilai pada kehamilan ini.

Pada kasus ACA, persisnya tubuh mengeluarkan antibodi yang digunakan untuk menyerang anticardiolipin yang dianggap musuh, meski sebetulnya itu merupakan bagian dari membran. Kemunculan antibodi anticardiolipin inilah yang membuat darah individu jadi lebih kental. Antibodi ACA juga mendorong terjadinya trombosis atau pembekuan darah dalam pembuluh darah.

Bisa dibayangkan, gara-gara ACA organ-organ penting bisa terganggu fungsinya, semisal pembuluh darah arteri, vena, maupun jantung. Gawatnya lagi, jika terjadi pada ibu hamil, bekuan darah di plasenta akan mengganggu pasokan zat gizi dan oksigen bagi janin. Janin jadi tidak bisa berkembang atau meninggal dalam kandungan.

Bisa ditebak akibatnya, terjadi keguguran kandungan. Biasanya keguguran terjadi pada usia kehamilan 3 - 4 bulan. Ketidakberesan biasanya tak disadari, karena gejalanya mirip dengan yang biasa dialami ibu hamil. Semisal cepat mengantuk, cepat lelah, sering pusing, dan sulit konsentrasi. Namun setidaknya, masih ada tanda lain yang dapat dijadikan acuan, yaitu bila setelah lewat empat bulan, keluhan di atas tidak menghilang. Normalnya, lewat empat bulan keluhan itu hilang.

Gejala lainnya, tekanan darah meningkat tanpa penyebab pasti. Gejala itu makin menguatkan kecurigaan akan adanya ACA, jika sebelum hamil tekanan darah calon ibu normal saja.

Risiko kehadiran ACA terhadap janin tak bisa dipandang sebelah mata. Soalnya, kebutuhan pasokan makanan bagi janin akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia janin. Sementara di saat bersamaan, antibodi anticardiolipin yang terbentuk semakin banyak, sehingga pasokan zat gizi dan oksigen untuk janin semakin terhambat. Akibatnya, bisa saja sejak awal janin tak pernah terbentuk alias meninggal dalam periode embrio. Kalaupun mampu bertahan, berat badan bayi yang lahir rendah.

Perlu rajin kontrol

Bila ada kecurigaan adanya antibodi anticardiolipin dalam darah ibu yang mengalami keguguran berulang, ia dianjurkan menjalani tes ACA.

Melalui tes ini diketahui kadar IgG dan IgM. Parameter ini bisa dijadikan pegangan untuk memastikan adanya paparan ACA atau tidak.

Masih menurut dr. Adi, berdasarkan kadar ACA-nya, penderita ACA bisa digolongkan dalam tiga tingkatan. Tergolong mild jika IgGnya berkisar antara 15 - 20, moderate jika antara 20 - 80, dan high jika di atas 80. Sedangkan tingkat kekentalan darah bisa diketahui dengan mengukur cepat-tidaknya darah yang bersangkutan membeku.

"Kalau orang normal darahnya akan membeku dengan tolok ukur waktu 25 - 40 detik, maka pada penderita ACA bisa kurang dari 25 detik sudah membeku," terang dokter yang berpraktik di RS PELNI, Jakarta ini.

Setelah mengetahui positif terpapar ACA, selain ke dokter ahli kandungan, ibu hamil perlu juga memeriksakan diri secara teratur ke dokter ahli penyakit dalam untuk memantau kondisi darahnya. Setidaknya, dua kali lebih sering dibandingkan dengan kehamilan normal. "Biasanya sebelum tujuh bulan, ibu yang terpapar ACA perlu berkonsultasi dua minggu sekali. Di atas tujuh bulan, frekuensinya meningkat jadi seminggu sekali sampai menjelang persalinan," kata dokter yang bermukim di Cinere ini.

Ibu hamil yang terpapar ACA juga harus menjalani tes laboratorium enam minggu sekali. Dari hasilnya, dokter penyakit dalam akan mengetahui kadar antibodi anticardiolopin pasien dan akan memberikan pengobatan. Semakin tinggi kadarnya, kian besar pula risiko terjadinya keguguran. Jadi, semakin besar juga usaha yang diperlukan untuk menurunkan kadar antibodi itu.

Bila antibodi anticardiolipin masih dalam batas aman, pengobatan cukup dengan tablet sejenis aspirin (yang kemampuannya mempertahankan bayi hanya 40%). Pada pemeriksaan berikutnya, internis akan menilai respons pengobatan berdasarkan hasil laboratorium terbaru. Bila kadar antibodi anticardiolipin tetap atau meningkat, pemberian obat akan dibarengi dengan suntikan heparin atau fraksiparin maupun suntikan lain sejenis yang harus dilakukan setiap hari. Obat yang disuntikkan bukan bertujuan menurunkan antibodi anticardiolipin, melainkan menjaga agar antibodi tak menyebabkan trombosis alias pengentalan darah.

Suntikan itu relatif aman buat wanita hamil karena terbukti tidak menembus barier plasenta, hingga tak ada kemungkinan terserap janin ataupun mengganggu pertumbuhannya. "Suntikan sebaiknya dilakukan hingga setelah ibu melahirkan. Sebab, jangan sampai kejadian bayinya selamat, namun ibunya lupa dijaga kadar kekentalan darahnya," ujar dr. Adi, yang memperkirakaan biaya untuk terapi suntik ini bisa mencapai Rp 3,5 juta per bulan.

Dari penelitian yang pernah dilakukan dr. Karmel L. Tambunan terhadap 232 pasien ACA selama 1997 - 2001 diketahui, kombinasi terapi obat dan suntik mampu meningkatkan peluang kesembuhan ACA menjadi sekitar 74 - 96%. Hasil penelitian selama ini di Indonesia menunjukkan, 97% ibu hamil dengan ACA melahirkan bayi normal.

Bila terapi suntik harus dijalani, si ibu sendirilah yang melakukan penyuntikan di sekitar perut setiap hari. Atau, bisa juga dengan bantuan suami. Lewat terapi obat dan suntikan, darah diharapkan makin encer. Tentu dengan catatan, si ibu harus rajin kontrol dan teratur menjalani terapi.

Untuk proses persalinannya, pada dasarnya tak beda dengan ibu hamil lainnya. Si ibu tetap bisa melahirkan normal, jika memang tidak ada indikasi lain. Hanya saja, tim medis harus tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya pembekuan darah saat persalinan. Alasan ini pula yang dijadikan salah satu pertimbangan diperlukannya tindakan caesar. Terlebih jika terjadi persalinan lama atau lebih dari delapan jam.

Cukup Minum Encerkan Darah

Mengingat kehamilan dengan ACA termasuk kelompok kehamilan risiko tinggi, sebaiknya ibu hamil menjaga kehamilannya dengan ekstra hati-hati.

Ia mesti istirahat dalam durasi yang cukup, tidur delapan jam sehari, menurunkan stres, makan secara benar baik kualitas maupun kuantitas. Aktivitas lain bebas dilakukan asal tak membahayakan kehamilan.

Kendati belum diketahui makanan apa yang bisa membantu mengencerkan darah, ibu hamil dengan ACA amat dianjurkan mengonsumsi makanan yang serba alami. Pengawet dan menyedap masakan, juga junk food, sebaiknya dihindari. Tujuannya untuk meminimalkan benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh.

Dianjurkan minum banyak air putih minimal dua liter sehari. Mereka yang jarang minum air putih dikhawatirkan darahnya semakin kental. Padahal tubuh tetap mengalami penguapan lewat keringat dan cairan melalui urine. Namun, itu tak berarti air putih bisa langsung mengencerkan darah penderita. *

Wednesday, January 2, 2008

Kepemimpinan Dari Perspektif Perempuan

Perjalanan peradaban memperlihatkan silih berganti pola-pola ke­pe­mimpinan yang turut mempengaruhi maupun di­pengaruhi oleh situ­asi. Dengan kata lain, pola-pola yang dite­rapkan tidaklah sama persis konsepsi dan aplikasinya namun sangat berhubungan dan dicirikan oleh konteksnya. Makna kepe­mim­pinan barulah dapat dinilai secara wajar di dalam konteksnya.

Di dalam konteks masa kini, apakah dan bagaimana kepe­mim­pinan yang diharapkan? Hal ini tidaklah mudah dijawab, anta­ra lain ka­re­na dua hal:
  1. Persoalan yang dihadapi masyarakat kini demikian kom­pleks­nya, membingungkan dan tidak cukup mudah melihat kore­la­si­nya dengan jenis kepemimpinan tertentu. Sean­dai­nya masa­lah­nya cukup jelas untuk dijawab, mungkin ti­dak­lah sulit memilih pemimpin.
  2. Masalah kepemimpinan itu gampang-gampang susah. Tanpa pe­mim­pin yang spesifik pun masyarakat ini, bagaikan or­gan­is­me, da­pat berkembang dengan kemam­puan adaptasinya terha­dap peru­ba­han dan perkem­bangan yang ada. Namun karena per­kem­­bangan yang diha­rap­kan adalah dengan tidak membiar­kan per­ma­salahan me­nu­­­ju fatalisme maka “mengawal pera­dab­an” ada­­lah pilihannya.

Persoalan yang selalu muncul dalam kepemimpinan adalah membuat pilihan hidup bersama dalam tatanan yang membawa perubahan. Seka­lipun demikian hal itu tidaklah selalu menjadi satu-satunya pi­lih­an yang tepat karena kepemimpinan adalah gejala sosial yang rentan ter­ha­dap kecenderungan korupsi, manipulasi dengan pola relasi keku­a­sa­an yang timpang maupun hirarkis dengan gap yang kaku. Individu mau­­pun kelompok yang dominan cenderung berkeinginan melang­geng­kan kepemim­pinannya dan imbas dari kecenderungan manusiawi itu adalah konflik, kekerasan, manipulasi, dan lain-lain. Sejarah dunia mau­pun sejarah persekutuan manusia tertentu (= gereja) mem­per­li­hat­kan hal itu dengan ekses-ekses, baik yang dapat dilihat secara ka­sat ma­ta maupun terselubung dengan rapatnya di dalam struktur dan sis­tem yang ada.

Gelutan ini membawa kita dalam pelajaran dari sejarah yang sangat berharga untuk terus mencari peluang-peluang yang masih ada ba­gi relasi manusia yang lebih bermartabat dalam perspektif apapun.

Menelisik definisi-definisi kepemimpinan secara tradisional

Sebagai suatu gejala sosial maka muatan substansi maupun bentuk kepemimpinan cukup bervariasi. Contoh yang dapat dilihat dengan gamblang adalah banyaknya definisi yang dibuat oleh aka­de­misi berhubungan dengan sudut pandangnya. Stogdill (1974: 259) menyimpulkan bahwa terdapat hampir sama banyaknya definisi ten­tang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba men­definisikannya. Lebih lanjut, Stogdill (1974: 7-17) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai konsep manajemen dapat dirumuskan dalam ber­­bagai macam definisi, tergantung dari mana titik tolak pemi­kirannya.

Banyak sekali definisi kepemimpinan yang sudah dibuat, misalnya: dengan mengutip pendapat beberapa ahli, Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1977: 83-84) mengemukakan beberapa definisi ke­pe­mimpinan, antara lain:

  • Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok (George P.Terry).
  • Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum (H।Koontz dan C। O'Donnell).
  • Kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada su­atu keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi ke arah ter­ca­painya sesuatu tujuan (R. Tannenbaum, Irving R. F., Massa­rik).

Untuk lebih mendalami pengertian kepemimpinan, di bawah ini a­kan dikemukakan beberapa definisi kepemimpinan lainnya seperti yang dikutip oleh Gary Yukl (1996: 2), antara lain:

  • Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi se­di­kit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pe­nga­­rah­an-pengarahan rutin organisasi (Katz dan Kahn).
  • Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivi­tas sebu­ah kelompok yang diorganisasi ke arah pen­ca­pai­an tu­ju­­­an (Rau­ch dan Behling).
  • Kepemimpinan adalah proses memberi arti terhadap usaha ko­lek­­tif yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diingin­kan untuk mencapai sasaran (Jacobs dan Jacques).

Menurut Wahjosumidjo, butir-butir pengertian dari ber­bagai definisi kepemimpinan, pada hakekatnya memberikan mak­na:[1]

  • Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pe­­mim­­­pin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti kepribadian, ke­mampuan, dan kesanggupan.
  • Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan pemimpin yang ti­dak da­pat dipisahkan dengan kedudukan serta gaya atau peri­laku pemimpin itu sendiri.
  • Kepemimpinan adalah proses antar hubungan atau interaksi an­­­tara pemimpin, bawahan dan situasi.

Dari sudut pandang yang terlihat dapat dicatat minimal tiga hal, yakni:

  1. Para pakar memperlihatkan bahwa kepemimpinan rentan ter­ha­dap dominasi satu orang atau kelompok pada yang lainnya. Ke­pe­mimpinan terlalu berfokus kepada figur pemimpin dengan ke­ku­­atan mempengaruhi, kekuasaan dan kewibawaan.
  2. Pada kutub yang lain terdapat kelompok yang dipengaruhi dan mengambil posisi lebih banyak sebagai perespons dari berbagai cara dan gaya kepemimpinan itu. Kelompok ini memang mem­punyai kekuatan dan kekuasaan namun dalam mencapai tujuan bersama terlihat pada posisi yang pasif.
  3. Kepemimpinan berhubungan terlalu erat dengan tiga faktor esen­­sial yaitu : kekuasaan (power) yang selalu didefinisikan se­ba­gai keku­atan, otoritas dan legalitas yang memberikan we­wenang kepada pemimpin untuk mem­pengaruhi dan meng­gerakkan bawahan untuk berbuat sesu­atu, kewibawaan (cha­ris­ma) kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga orang mampu “membawahi” atau mengatur orang lain, sehingga orang terse­but patuh pada pemimpin dan ber­sedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.yang didefini­si­kan sebagai dan kemampuan (ca­pa­­bility) yakni segala daya, ke­sang­gupan kekuatan dan keca­kapan ketrampilan teknis maupun sosial, yang diang­gap mele­bihi dari kemampuan anggota biasa. Ketiga faktor dominan tersebut, akan memberikan corak pada tipe atau gaya kepemim­pinan seseorang, Makin besar kekuasaan, kewiba­wa­an dan ke­mam­­puan yang dimiliki seorang pemimpin, maka makin be­sar pe­luang kepemimpinannya untuk berhasil.

Hal-hal di atas memperlihatkan kecenderungan yang timpang ter­hadap ak­ses kelompok yang dipimpin dan yang dianggap tidak bisa memimpin dan juga figur di belakang sang tokoh pemimpin.

Dalam konteks Indonesia pun, yang menjadi sentral adalah sang pemimpin dan kepemimpinan itu di back up dengan sangat kaku oleh norma yang sering diperkuat pula oleh formula-formula penghu­ku­­­man dari pihak transenden atau yang disebut Max Weber sebagai Otoritas Rasional, yaitu legitimasi kepemimpinan yang didasarkan pa­da otoritas yang berbasis prinsip-prinsip (konsep-konsep) yang rasional (nalar), sebagai basis sistem pengukuhannya dan Otoritas Tradisional, yaitu legitimasi kepe­mimpinan yang didasarkan pada otoritas penga­kuan masyarakat secara tradisional dan melembaga. Sedangkan Otori­tas Karis­matik, yaitu legitimasi kepemimpinan yang di­da­sarkan otori­tas kharisma, sebagai kelebihan kemampuan yang mele­kat pada sese­orang, yang tidak dipunyai oleh orang lain kemudian tenggelam dalam per­ta­rung­an internal dengan partai dan lem­baga-lem­baga legislatif saja. Wakil rakyat disamakan dengan rakyat dan rakyat diposisikan sebagai penonton dalam kancah itu.

Pengaruh kepemimpinan paling dominan terlihat pada fase sebe­lum dan proses menjadi pemimpinan namun setelah itu pengaruh itu ti­dak terlalu berpengaruh lagi karena back up yang cukup kuat dari norma dan birokrasi.Lalu yang agak aneh, pola hubungan yang hirarkis di­sah­kan begitu saja dan posisi pemimpin menjadi sangat kuat bukan karena upaya untuk mempengaruhi rakyat dengan pola hubungan dia­lo­gis na­mun oleh tradisi kepemimpinan yang kaku dan baku.

Mencari dari Hasil Refleksi dan Aksi: Adakah Hubungannya dengan Gender?

Dalam bagian ini, tidak ada maksud membuat perbandingan ter­ha­dap masa lalu. Yang ada adalah upaya belajar untuk meng­hayati kon­teks dengan jujur. Dengan demikian kiprah masa kini tidak terpa­sung da­­­lam romantisme masa lalu maupun sebaliknya keengganan untuk be­la­­jar dari masa lalu sebagai guru yang baik itu.

Dari kenyataan yang di Indonesia, baik secara statistik maupun ku­­alitatif terlihat bahwa kepemimpinan perempuan masih sangat kecil peranannya dalam kehidupan masyarakat. Teridentifikasi minimal dua a­la­­san, yakni bahwa:

  • Peluang untuk menguji dan mengasah kepemimpinannya hanya terbatas pada wilayah-wilayah tertentu saja. Walaupun ternyata sebagian perempuan dapat mengubah tantangan menjadi pe­lu­ang namun sebagian lain belum bisa keluar dari tantangan itu.
  • Kebudayaan dominan memberi mempengaruhi begitu kuat se­hing­ga perempuan menyadari kepemimpinannya pada wilayah-wilayah tertentu saja. Dan tidak tidak menyadari keseluruhan po­­ten­sial karena aspek internal diri perempuan

Beban-beban itu diklasifikasi Mansur Fakih[2] sebagai berikut:

  • Stereotype
  • Beban ganda
  • Diskriminasi
  • Marjinalisasi
  • Kekerasan

Sekalipun dalam kenyataan sejarah banyak sekali perempuan yang men­jadi pemimpin suku, agama, tokoh kemerdekaan, pahlawan anti pen­ja­jahan di daerah-daerah. Terlihat masih terdapat keberatan-kebe­ratan se­pi­hak terhadap kekayaan nilai dan substansi kepemimpinan kelompok yang selama ini hanya dipimpin, sedang­kan pada pihak lain kenyataan dunia memperlihatkan bahwa per­gu­mulan dunia tidak cukup untuk di­cari jalan keluar hanya dengan kenderungan pola dan kearifan ke­pe­mim­pinan dari yang selama ini disebut kelompok dominan (ketu­runan ter­tentu - raja, bangsawan, dll), kelompok dewasa, masyarakat dari ras, e­tis, agama, sex tertentu, serta kegagalan di mana-mana karena pola-pola ke­­pemim­pinan yang terapkan oleh kelompok dominan bahwa diser­ta­i dengan gejala-gejala peghancuran dunia yang baru. Kita sam­pai pada ke­simpulan bahwa: inspirasi dari pengalaman, pengetahuan serta kebi­jak­­­sanaan kelompok yang selama ini rela dipimpin tenyata harus masuk dalam mainstreaming kepemim­pinan di mana-mana. Secara khu­sus ka­um perempuan dari berba­gai lapisan, tempat, dan ras dari masya­rakat dan juga laki-laki dari lapisan bawah, anak-anak laki-laki dan pe­rem­pu­an, laki-laki dan perempuan yang miskin, dari agama tertentu yang mi­no­­ritas, dan lain-lain.

Saya sampai pada keyakinan bahwa masalah gender ber­hu­bung­an erat dengan kepemimpinan. Menurut hasil penelitian bebe­rapa ha­sil, terdapat bukti-bukti bahwa sekalipun proporsi perempuan dalam posisi­-posisi manajer meningkat tetapi tetap saja terdapat kera­guan me­nge­nai keahlian kepemimpinan perempuan (Still, 1997) dan laki-laki (khu­sus­nya manajer) masih terus mendefinisikan manajemen dalam istilah-isti­lah laki laki. (Brenner, Tomkiewicz, & Schein, 1989; Heilmann, Block, Mar­tell, & Simon, 1989; Schein & Mueller, 1992).

Sally A. Carless mencatat beberapa hasil penelitian yang mem­per­lihatkan bahwa perbedaan gender telah merupakan salah satu peng­ham­bat posisi perempuan dalam kepemimpinan, antara lain yang dila­ku­kan oleh Bass pada tahun 1990. Kemudian terjadi perkembangan dari hasil studi Slowly pada tahun 1990 serta Eagly dan Johnson yang mampu meloka­si­kan 162 gaya kepemimpinan laki laki dan perempuan.

Oleh karena itu, berbicara tentang kepemimpinan mestilah ber­bi­cara tentang hubungan gender. Beberapa hasil penelitian yang da­pat mem­­buktikan hal itu misalnya:

1. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam The Asian Pacific American Women’s Leadership Institute (APAWLI) menya­ta­kan dari hasil pene­li­tian­nya, bahwa cara-cara yang penting menurut kaum pe­rem­­­puan ini adalah: cara-cara inklusif, kolaborasi, membangun konsen­sus, kepemimpinan yang didasarkan pada prinsip-prinsip, hubung­an dan pelayanan etis. Dimensi-dimensi dari cara memimpin seperti di a­tas adalah:

  • Pengontrolan Diri
  • Visi
  • Belas Kasih
  • Empati
  • Kemampuan Komunikasi
  • Fondasi Spiritual
  • Keterbukaan Menerima Resiko

2. Hasil penelitian Judy Rosener "Ways Women Lead,", yang dikutip Laraine R. Matusak, terungkap bahwa:[3]

that men usually describe themselves in ways that characterize "transactional leaders." They see their jobs as a series of transac­tions with subordinates in which rewards are exchanged for ser­vices. They are more likely than women to use power that comes from their organizational position and formal authority.

Rosener says that women, on the other hand, tend to describe them­selves in ways that characterize "transformational leaders." As she interviewed women leaders, she found ways that they tend to share power and information, encourage participation, enhance other people’s self worth, and get others excited about their work. Persons who work with them are encouraged to contribute in order to feel powerful and important.

Dalam perjumpaan yang kontekstual, ternyata terdapat beberapa dimensi baru ditampilkan sebagai hasil dari pengalaman dan refleksi. Secara khusus memposisikan kelompok yang selama ini disub­or­dinasi dan dipinggirkan dalam kancah kepemimpinan masyara­kat se­ba­gai ke­lompok yang memiliki keunikan spiritualitas yang dapat mem­be­rikan horison lain tentang kepemimpinan. Terlihat di atas adalah ka­um pe­rem­puan. Terdapat juga kelompok lain, yakni kelompok masya­ra­­­kat bia­sa, ma­­syarakat mskin dan secara khusus kelompok perempuan.

Kelompok ini meliputi 80% dari jumlah penduduk di Indonesia dan daya dukungnya terhadap perubahan masyarakat masih dia­bai­kan ma­lah kenyataannya dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi peru­sa­ha­an-perusahaan multi nasional dan internasional dan menjaga devisa ne­ga­ra dari sektor industri. Sekalipun, dalam kondisi itu tetap saja perju­angan hak asasi dilakukan namun energi dan kearifan yang ada belum terpakai dalam perkembangan per­adaban manusia. Selama ini dieksplo­itasi sebagai sisi gelap dari peradaban manusia.

Kelompok ini adalah bagian dari realita masyarakat Asia, ter­ma­suk Indonesia dan bukan semata-mata tanggung jawab dari kaum pe­rempuan tetapi dari komunitas dengan budaya domi­nannya. Bagai­ma­­­na komunitas secara arif memulihkan situasinya kini dengan peng­galan-penggalan luka yang belum tentu sudah kering.

Satu hal yang bisa dilaksanakan saat ini adalah belajar dari kelompok ini tentang dimensi-dimensi baru dari kepemimpinan yang la­yak untuk dipakai sebagai bagian integral dari paradigma kepemim­pinan yang kontekstual.

Kenyataan dalam Alkitab tentang Kepemimpinan Perempuan

Bagian ini sengaja tidak ditempatkan di bagian awal tulisan dengan tujuan supaya kenyataan apa adanya ditampilkan dan Alkitab tidak menjadi ukuran untuk hal ini. Namun jika kita mau mene­lu­su­ri­nya juga, maka terdapat sumber-sumber berita dan tafsiran yang me­nya­­takan kepemimpinan perempuan dalam posisi-posisi kunci.

Karen L. King melihat peran yang sangat penting dalam se­ja­rah kepemimpinan perempuan sebagai berikut:

Maria Magdalena adalah benar-benar figur yang berpengaruh, tetapi sebagai seorang murid terkemuka di salah satu sayap gerakan Kristen mula-mula yang mempromosikan kepemim­pin­an perempuan. Menurutnya, beberapa ahli bahkan menya­ta­kan bahwa mayoritas orang Kristen pada abad pertama adalah perempuan. Dalam surat-surat Paulus disebut nama: Prisca, Junia, Julia, and saudara perempuan Nereus, yang be­ker­ja dan melakukan perjalanan misi sebagai rekan dari suami atau kakak laki lakinya (Roma 16:3, 7, 15). Euodia dan Sinti­khe disebut pekerja Injil (Filipi 4:2-3). Beberapa pendiri je­ma­at rumah, sebuah strategi berhubungan peraturan di Roma yang menganggap kekristanan bukan hal yang legal. (Apfia di Filemon 2; Priska di I Korintus 16:19). Juga Lidia dari Tiatira (Kis.16:14) dan Nimfa dari Laodikia (Kolose 4:15). Juga me­nangani administrasi dan penyembahan, pela­yan­an dan nu­bu­a­t­an (Roma 16:1, I Korintus 11). Tidak hanya hal-hal este­ti­ka te­tapi juga khotbah umum, pengajaran, pemimpin doa, pe­la­yan perjamuan (A later first century work, called the Didache, as­sumes that this duty fell regularly to Christian prophets).

Dari sebagian kecil ini saja dapat kita lihat bahwa permasalahan ten­tang kepemimpinan perempuan terletak pada:

  • Siapa yang berkuasa dan berpengaruh untuk menyatakan bah­wa perempuan lebih rendah daripada laki laki.
  • Apakah legitimasi budaya dan agama yang ada untuk men­sah­kan hal tersebut.
  • Apakah terbuka peluang bagi perempuan untuk memberi rea­k­si secara individual, kelompok maupun sistem sehingga ter­da­pat proses tawar menawar untuk perubahan masyarakat.

Persoalan kepememimpinan dalam perspektif teologis dapat dikembangkan sehingga teologi gereja membuka peluang bagi parti­si­pa­­si semua orang membanguna dunia, dan bukannya menutur ruang ba­gi kehidupan berbagi yang lebih bermartabat.

Membuat Definisi Kepemimpinan dari Pengalaman Perempuan

Dalam bagian ini saya mencoba mengangkat dimensi-dimensi yang penting, belajar dari paparan di atas antara lain:

  • Pengontrolan diri: Pengontrolan diri merupakan dimensi aktual untuk semua pe­mim­­­pin dalam berbagai sektor. Terhadap kecenderungan dipolitisir mau­pun mempolitisir orang lain, pengontrolan diri adalah rambu yang arif. Melalui pengontrolan diri terbuka horizon untuk membaca situasi de­ngan bebas atau tidak terikat pada kepentingan temporer diri sendiri. Pengontrolan diri akan membuat pemimpin memper­tim­­bangkan semua mi­­si yang gamang terhadap hasil yang instan.
  • Visi:Daya yang dimiliki karena kompleksitas pengalaman dan perkem­bangan budi seseorang. Hal itu perlu dilanjutkan dengan ka­pa­si­tas untuk menggerakkan yang lain itu meyakini visi kita. Menciptakan inovasi baru untuk memperlihatkan berperannya dimensi-dimensi yang dianggap dan dilakukan perempuan sebagai bagian dari kepemim­pin­an­nya.
  • Belas kasih: Belas kasih (compassionate) diperlukan dalam setiap kepemim­pi­n­­an, khususnya untuk yang takut untuk melakukan tindakan nyata. Hal ini diperlukan sehingga peluang tidak tertutup namun tanpa batas ter­buka dengan sabar bagi perkembangan yang berbeda dari setiap manu­sia.
  • Empati:Empati adalah pengembangan dari sensitifitas, yakni untuk meng­­ambil beban orang yang dipimpin dan dalam suasana itu memikir­kan jalan keluar dengan tidak menjadikan kesulitan orang yang dipim­pin sebagai alasan menjadikannya obyek atau orang yang terikat dalam ke­tergantungan dengan pemimpin. Saya setuju dengan kesimpulan yang dibuat APWLI bahwa dengan empati maka akan terjadi pemberdayaan kelompok marjinal sehingga “para pemimpin yang diam” akan berdaya untuk masuk ke a­rus tengah partisipasi dalam masyarakat dan meng­abaikan pandangan u­mum tentang konsepsi kepemim­pinan yang bias gender itu.
  • Kemampuan komunikasi:Kemampuan ini dipelajari dari pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman berkomunikasi dari kebanyakan orang yang bukan memim­pin tidak berarti lebih rendah kualitasnya dengan kelompok dominan ini. Variasi bentuk komunikasi dapat bermanfaat untuk dipili dalam konteks yang khusus.
  • Fondasi spiritual:Spiritualitas adalah daya yang untuk untuk memaknai berbagai proses dalam kehidupan dengan sudut pandang etis dan kreatif bahkan teologis sehingga muncul berbagai kemampuan termasuk kemampuan bertahan (survive) maupun menjadi agen perubahan. Dari hasil peneli­tian itu disimpulkan antara lain: bahwa kaum perempuan di Asia meng­gu­­nakan nilai-nilai yang berbeda beda untuk proses mendinamisasi ke­ku­asaan dan kepemimpinan. Pengalaman untuk membuat tantangan men­­­jadi kesempatan, dengan melihatan tantangan sebagai undangan un­tuk membuat perubahan. Perempuan-perempuan ini menemukan hal-hal strategis penting untuk mengembangkan hal-hal etis, kepedulian dan kepemimpinan yang berbelas kasih, dan sharing menjadi ajang dan pendekatan untuk studi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk institusi.
  • Keterbukaan menerima resiko:Keterbukaan menerima resiko ini bagian komitmen untuk mene­ri­ma diri sebagaimana adanya (termasuk yang dapat melakukan keke­li­ru­an maupun kesalahan) dan menerima kecenderungan tantangan yang berubah menjadi ancaman. Pemimpin yang terbuka menerima re­si­ko ada­lah yang konsisten terhadap komitmen maupun integritas dirinya.
Demikianlah beberapa dimensi penting dari kepemimpinan yang berorientasi kepada transformasi.

[1] Wahyosumidjo (1984), hal. 26.

[2] Mansur Fakih, Gender dan Seksualitas,

[3] Judy B. Rosener, "Ways Women Lead." Harvard Business Review. Cam­bridge, MA: Harvard University Graduate School of Business, November-December 1990, p. 125 dalam Larraine R. Matusak, et.al., (eds.), Leadership: Gender Related, Not Gender Specific, (Concepts, Challenges, and Realities of Leader­ship: An International Perspective. Selected Proceedings from the Salzburg Seminar on International Leadership.