
Papalele..... berkeliling menjual bahan-bahan yang dibawanya...
Dijunjungnya dengan pengharapan, ditawarkan dengan kepastian...
Karena "berkat" bukan semata-mata hasil transaksi, tetapi janji yang diterima dalam kerja yang jujur......
struggling for women, struggling for life
"Perempuan, Lingkungan dan Kemiskinan"
(Suatu Cerita Pembaruan Hidup)
Teks: Rut 1-4
=======================================
Mula AntarTeks ini memperlihatkan bahwa masalah lingkungan alamiah bukan masalah tunggal. Masalah lingkungan senantiasa mengkaitkan dengan erat lingkungan alamiah (nature) dengan lingkungan sosial. Penguasaan dan pengelolaan alam berhubungan sangat erat dengan struktur dalam masyarakat, misalnya pola hidup masyarakat dalam sistem patriarkat akan memperlihatkan ciri tertentu. Aturan membingkai, menempatkan dan menentukan pola relasi antar manusia maupun dengan lingkungan alamiah.
Di dalam teks ini perempuan berada pada posisi ambigu; pada satu sisi perempuan adalah pusat narasi kitab Rut ini namun pusat narasi yang bagaimana? Akan kita telaah lebih dalam lagi bersama-sama.
TELAAH TEKS
Teks ini akan ditelaah dengan memakai hermeneutika “kritis” yang melihat teks :
Bencana Lingkungan Hidup
Mencari Ruang Hidup
Pulang Ke Rumah : Ruang Yang Didominasi
Berdaya dengan Solidaritas dan Melawan Kekerasan dengan Tanpa Kekerasan
[1] Dalam pandangan (worldview) masyarakat suku manusia dan lingkungan alamiah terintegrasi sebagai totalitas kosmos. Tanpa ruang, manusia bukanlah apa-apa. Berbeda dengan pandangan kebanyakan masyarakat modern, termasuk teologi Kristen di Barat yang menempatkan manusia sebagai pusat ciptaan.
Introduction
It is a great honor as well as challenging assignment to present paper and experience before participants who all remarkable leaders, experiential and knowledgeable teachers. It is my hope that we can share and learn together from this section.
Our material is about women and peace-building: Indonesian Experience. The first time when I saw this theme, it is very actual, related to something did by women in current day, something we need for our present situation and future. Like we need for "a life" itself.
To present experience of Indonesian women, I interview some local and national women leader and I hope their voice can be hear in this workshop. My position: Represent and then re-present
Stories from Indonesian
There are many stories to describe both the treat to peace and justice in our present day realities and seeds of peace-building seedling by communities where women being integral part even become inspiring people, be in solidarity with them when no justice and no peace.
I select 5 (five) short stories prior this paper, based on community that I lived as follows:
1. Story about a chaos situation in Maluku (a province in eastern of
a. Choose to life together and not segregate.
b. They to find solution for manage conflict and push away segregation.
c. Raise new symbols to making balance with symbols that already interpreted as violence symbols dominantly, for example: "mothers milk" promoted to make balanced and compiled for interpreted for "blood" that strong to indicate for violence and victim. Or slogan "
2. A story from women pastor about how to survive and trying hard to uninvolved continuing violence. Implicitly, they hope to life in peace even they are trying hard to get justice for themselves. While conflict happen, some women in her congregation frequently to mountain (their garden there) for keep some basic needs anticipating unpredictable situation. They make basic commodity like coconut oil, dried fish, etc. When they must stay in the mountain, for some days they have food. They cooked when the mist around their place so that other groups who want to kill them couldn't find their place. This is story according to life and death. They try to survive while stand in the principle on peace. On the other side law officer, military or government did not yet to protect people.
3. Story from women in grass roots economic field. They who still commit to support people needs although in chaos situation (for example: papalele in
a. Education Orientation, especially for children
b. Simple life style.
c. Small is beautiful, their principle to manage enterpreunership and economic in grass-roots level.
4. Many families break in violence situation. Many men, women, children died, refugees. Many women trying to built new life with all the rest that they have creatively. It shows their attitude to say "no" to violence and marginalized. Some special/unique from them as follows:
a. Trying to placed family as one of base for transform life. They interpreted culture in new ways according to current situation, like: philosophy of "Big House", "we are sister and brother", "pela".
b. Their activities used natural resources with balanced attitude and protect sustainability.
5. From the base of service of the association of theological schools in and member schools (according to our situation), we want to said "no" to continue violence that make human suffer. We built concrete networking and solidarity, where some students (last year) have send to other "save" member school to finished their study. More than 50 students graduate during in conflict situation (example: STT GMIH Tobelo, Faculty of Theology UKIM Ambon, STT GKST Tentena) when some of their parents less job, separate from them, become internal displaced people or died.
That stories happened in the complexity situation of
1. Big task is to manage our plural situation. Is it true that violence can be tools for that task. Violence is way for denied that plurality.
a. Friendship education across identity must be promote seriously as model to response orientation dominant with competition and business.
b. Equality must be promoted continually to make better horizon in plural society.
2. Language of "Culture" that relevant to make common symbols in every community.
3. Culture of violence spread without shamed.
4. System of state can not denied as source of complex problems, so that we must consider some task to peace-building as:
a. Involved in the process to make sure ideology of
b. If it fail so that our independent only "not real" post-colonial. While we are in that situation, globalization in twenty-first century show tend to arise new imperialism.
c. According to that, we must pay attention for all regulation product that stimulating break integrity, segregating people, make people poor. For example: Regulation about anti-porn (graph and action) make women as persecuted, make women can not work afternoon and night, after from almost 40 year development period result millions factory worker.
d. Struggling to make transformation in development in
e. Doing continually justice problem as mainstream. No peace with justice.
f. From kind research, found that many democratic and human right activist did not involved in practical politics, there are small channel for control by people for democratic process in Indonesia (for example: advocating people faced capitalist).
I. PENDAHULUAN
Gereja Protestan Maluku (GPM) merupakan salah satu gereja yang lahir dari hasil pekabaran Injil model kekristenan Barat. Seperti sebagian besar gereja-gereja di Indonesia, GPM memiliki karakteristik sosiohistoris dan eklesiologis yang khas, sebagai hasil perpaduan dan kontekstualisasi di sepanjang sejarahnya. Karakter eklesiologisnya tidak hanya nampak dari cara menggereja secara formal dalam bentuk ritual, liturgi, nyanyian jemaat, dogma, dsb., tetapi juga dari cara hidup jemaat-jemaatnya. Konteks kebudayaan Maluku dengan beraneka ragam pola kehidupan sosial masyarakat pulau-pulau menjadi faktor penentu dalam membangun persepsi berjemaat di Maluku. Dengan perkataan lain, konteks kebudayaan “lokal” di Maluku tidak dapat tidak mesti diperhitungkan secara serius dalam proses membumikan Injil di Maluku. Hanya di dalam proses memahami kebudayaan “lokal” itulah, gereja tidak hanya menanamkan nilai-nilai kekristenan dalam bentuk dogma-dogma yang mesti ditaati tanpa sanggahan, tetapi nilai-nilai Injil menampak dalam cara hidup berjemaat sebagai persekutuan murid Kristus.
Judul di atas bukan bermaksud menegasikan proses bergereja maupun model yang telah ada namun justru untuk melakukan proses peninjauan dan keinginan untuk memikirkan transformasi gereja terus-menerus. Tentunya sumber motivasi ini juga muncul dari dalam, dengan pengertian bahwa tradisi reformasi mengajarkan proses pembaruan terus-menerus sebagai bagian dari jati diri kekristenan.
Pada sisi yang lain, percakapan teologi kontekstual yang sekaligus merupakan teologi pembebasan memperlihatkan cara pandang terhadap kehidupan yang berdasar pada penghargaan terhadap upaya manusia dari waktu dan tempat tertentu (=budaya) sebagai bagian dari penampakan pekerjaan Penciptanya di dunia ini. Pemahaman bahwa budaya merupakan bagian dalam dari berita yang injili sejauh kelengkapan budaya itu mengangkat martabat kemanusiaan dan mendukung manusia untuk membangun relasi yang harmoni dengan sesamanya.[1] Model-model kehidupan yang berkembang dalam proses perubahan sosial dari waktu dianggap penting dan alangkah naif jika diabaikan.
Dalam proses berteologi, gereja selayaknya berusaha menempatkan cara hidup dan relasi-relasi sosial dalam komunitasnya sebagai sumber-sumber teologis yang mendorong ke arah pemahaman relasional Tuhan-manusia dan manusia-manusia yang lebih baik dan seimbang. Dan budaya merupakan bagian dari cara untuk mencapai tujuan itu secara luas, sehingga dasarnya tidak semata-mata pada usaha memahami kehendak Tuhan secara abstrak tetapi bagaimana manusia menata relasi sosial yang sedemikian rupa sehingga mampu direfleksikan sebagai “kehendak Tuhan” yang konkret.
Dari sudut pandang Feminis, model-model relasi sosial yang diprioritaskan adalah relasi yang melihat kesetaraan, non diskriminasi dan pengharagaan terhadap yang “kecil, terlupakan” sebagai nilai-nilai utama. Pengamatan dan pengalaman bergereja adalah bagian yang utama untuk terus-menerus ditinjau sehingga perjalanan bergereja menjadi pengalaman yang hidup dan bergerak untuk mencari cara hidup bersama yang saling menghidupkan.
Di antara sekian banyak ekspresi budaya, dalam tulisan ini saya memilih untuk “membaca” ekspresi budaya lokal makan patita, atau yang sering disebut sebagai “makan bersama”. Tindakan-tindakan sosial ini mempunyai makna sosial yang ternyata mampu melestarikan ikatan-ikatan internal dalam suatu kelompok sosial dan upaya memahami hidup secara total. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri dan memahami (verstehen) makna sosial makan patita. Dengan memakai pendekatan hermeneutik budaya dan kerangka metodologi antropologis, melalui tulisan ini saya akan mengulas makan patita yang bermuara pada penemuan nilai-nilai kehidupan apa yang dapat digunakan untuk memahami “teologi” makan patita.
II. MAKAN PATITA: Pengalaman Sakral dalam Persekutuan Makan Bersama (sebuah Pengalaman Pribadi)
Beberapa kali saya mengikuti acara “makan patita, baik dalam sebuah acara adat maupun kegiatan secara umum. Prosesinya tidaklah selalu sama namun nilai-nilai dasar yang hendak disampaikan dapat dengan jelas dipahami dari tindakan “makan patita” itu. Dalam pengalaman awal saya, saya mengerti apa itu “makan”, tetapi saya tidak paham apakah itu “patita”? Sebagai seorang anak yang lahir di kota Ambon, dan mungkin dialami oleh kebanyakan anak lainnya, bahasa daerah, yang sering disebut “bahasa tanah”[2] tidak diajarkan kepada kami sejak kecil begitu pula dalam interaksi pendidikan serta dalam masyarakat. Hal itu juga terlihat pada kedua orang tua saya. Bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon. Hal itu berbeda dengan beberapa teman saya yang lahir dan dibesarkan di Pulau Seram dan kampung-kampung tertentu di Pulau Ambon (khususnya jasirah Leihitu), serta dari Jawa dan Sumatera. Untuk hal ini, saya merasakan perlu mempelajarinya secara khusus. Dari pengalaman yang saya dengar langsung dari beberapa orang ketika melakukan penelitian lapangan di Pulau Seram bahwa pada jaman Belanda mereka tidak diperbolehkan berbahasa asli dengan leluasa dan jika diketahui maka akan diberi hukuman oleh pegawai-pegawai Belanda.[3] Hal makan patita dan sejarah bahasa tidak kelihatan hubungannya yang erat namun ternyata untuk memahami apakah itu “patita” saya tidak serta merta bisa mendefenisikannya karena masalah bahasa di atas. Namun hal itu kemudian masih bisa diatasi dengan cara terlibat di dalam acara itu secara langsung. Begitulah saya ingin mengikuti makan “patita’ karena akan berjumpa orang lain dan ingin mengetahui seperti apakah acara itu.
Dari jauh kelihatan banyak orang berkumpul, membuat saya terharu akan suasana itu. Ada yang sibuk mempersiapkan penataan makanan (didominasi oleh ibu-ibu), sebagian lagi bersiap-siap untuk bertugas selama acara makan patita itu berlangsung untuk melayani peserta sesuai dengan kebutuhan tertentu. Menu makanan yang tersedia ciri khas makanan Ambon dengan variasi bentuk dan bahan dasar, misalnya: papeda, sagu, ubi, singkong, sayur singkong (daun kasbi), acar dan kokohu (sayur campur dengan bumbu yang khas), ikan yang diasapi (ikan asar), ikan kuah, dan lainnya. Diawali dengan beberapa prosesi yang saling memperkuat makna dari acara makan patita itu yakni mempererat hubungan persaudaraan.
Setelah itu, hingga saat ini, saya mengalami beberapa kali makan patita dengan komunitas-komunitas tertentu. Nama komunitas-komunitas itu tidak lagi terlalu saya ingat tetapi pesan yang rupanya ingin disampaikan oleh “pengalaman makan patita” membekas dan menginspirasi perjalanan hidup saya. Pada awalnya, ada perasaan senang melihat proses makan beramai-ramai, dengan makanan yang bervariasi. Secara fisik suasana itu penuh warna-warni, layaknya sebuah perayaan, penuh dengan suka cita. Namun setelah saya mengalami beberapa kali “makan patita”, nilai-nilai yang lain bermunculan dengan kesan yang kuat juga. Kesan itu muncul dengan pertanyaan dan pernyataan hasil pengamatan: Siapa yang mempersiapkannya? Tidak jelas lagi siapa pemilik perayaan itu, karena kelihatannya sudah seperti milik bersama. Kenapa tidak ada yang mambatasi orang lain untuk memakan menu tertentu padahal yang datang banyak orang? Rasanya seperti tidak ada ketakutan bahwa makanan tidak lengkap lagi dimakan oleh orang-orang tertentu yang dihormati. Hal lain yang menarik adalah peralatan yang dipakai sangat alami. Selain berhubungan dengan pertimbangan kesehatan, di era globalisasi ini persekutuan “makan patita” seperti bebas dari indoktrinasi. Perlengkapannya bukan hasil impor atau sesuatu yang secara tak langsung dipandu oleh model-model yang sedang trend dalam masyarakat global. Hasil amatan lainnya adalah bahwa ternyata semua orang dapat berbaur dan dihargai tanpa padang batasan usia, status sosial, dll. Suasana persaudaraan lebih mendominasi perjumpaan itu dibandingkan pengalaman sehari-hari yang rentan terhadap berbagai kekerasan.
Pengalaman itu sulit untuk dilupakan karena merasuk semangat dan iman. Dengan dibingkai acara makan bersama, pengalaman itu menjadi sesuatu yang sakral. Kesakralan itu terjadi karena suatu misteri kehidupan yang penting yakni persaudaraan dan kesetaraan dapat diaktualisasikan di tengah kenyataan hidup yang semakin individualistis dan saratnya kekerasan. Sesuatu hal yang diresapi karena berharga bagi kehidupan dan memuat prinsip-prinsip penting dari apa yang dinamakan “kehidupan”. Sesuatu yang mengandung roh yang menghidupkan.
III. NILAI-NILAI UTAMA DARI BUDAYA MAKAN PATITA (sebuah interpretasi)
Berikut ini adalah interpretasi terhadap pengalaman “makan patita” dari perspektif teologi kontekstual.
Dalam diskursus Feminis, “meja bundar” adalah model yang menunjuk kepada nilai egaliter karena tidak ada “kepala” dan “kaki”. Hal itu sangat bermakna ditengah konteks segregasi maupun hirarki masyarakat. Apalagi “makan di atas” tanah sebagai model yang dipesankan oleh tradisi makan patita, kuat untuk pesan kesetaraan itu. Alasan mendasar terhadap penilaian ini adalah bahwa dalam pengalaman masyarakat Asia-Afrika (bukan hanya Maluku) yang mengalami penjajahan dan ketimpangan kesejahteraan hingga kini, “meja” menunjuk kepada kelas sosial. Banyak masyarakat Asia-Afrika yang diperlakukan sebagai orang yang dianggap hina, bahkan untuk makan dengan menaruh makanan di meja pun tidak selalu bisa. Banyak orang Asia-Afrika hingga untuk “makan” sebagai perngalaman rutin setiap hari pun tidak dapat dilalui dengan penghargaan yang layak.
IV. BAGAIMANA CARA BERGEREJA KITA?
Cara bergereja dalam perpektif “gereja yang mandiri” adalah sebuah PILIHAN. Pilihan untuk menimbang hal-hal yang kontekstual bagi pengembangan yang menyatu dengan masyarakat. Dalam sejarah GPM, kemandirian dana, daya dan teologi telah dikumandangkan puluhan tahun yang lalu. Kemandirian itu mengisyaratkan keterbukaan terhadap pembaruan eklesiologi yang kontekstual yang berdasar pada pandangan teologi yang kontekstual.
Cara bergereja yang kontekstual dengan menggunakan model makan patita memberi gambaran tentang orientasi bergereja yang menyokong kehidupan dengan prinsip dasar kesetaraan dan pelayanan dari semua untuk semua. Hal itu kemudian, selayaknya akan menjadi filter bagi pemilihan model struktur yang melayani. Hal ini menjadi penting dalam kenyataan pengkotakan komunitas berjemaat berdasar pola hirarki, pendeta sentris dan polarisasi awam dan klerus. Prinsip dasar untuk meletakkan kembali pemahaman tentang gereja yang berbasis pada model “makan patita” dan pengalaman transformasi bersama karena terhisab dalam partisipasi aktif semua komponen untuk merayakan kehidupan.
Mengapa Model “makan patita” ini dianggap layak? Oleh karena nilai-nilai dasarnya “Injili”, misalnya: pelayanan, kesetaraan, keharmonisan dengan alam, totalitas hidup yang meliputi ketubuhan, mental-rohani dan relasi sosial yang terbuka dan merayakan perbedaaan yang ada.
Fungsi ganda dari pemikiran ulang tentang model bergereja yang kontekstual ini meninjau secara kritis model bergereja yang telah ada dan dipergunakan, mempertimbangkan kekayaan budaya yang mengutamakan nilai-nilai kehidupan, dan melakukan transformasi terhadap perkembangan kehidupan bergereja ke masa depan. Model gereja yang telah dipergunakan bukanlah sesuatu harga mati dan sempurna yang tidak bisa diutak-atik oleh karena model itupun lahir dari konteks yang dinamis yang sebelumnya mungkin belum ada dan di-ada-kan oleh karena perkembangan masyarakat dan pemikiran tentang nilai-nilai utama kekristenan. Di mana-mana budaya setempat layak untuk dipertimbangkan terus-menerus oleh karena Allah berkarya dalam setiap upaya baik manusia. Persoalannya adalah kepentingan politis manusia (relasi kuasa) sering mendominasi budaya manusia. Namun hal itu terjadi dalam semua buday manusia, termasuk pengalaman manusia yang diungkapkan di dalam kanon Alkitab. Berhubungan dengan hal di atas maka proses transformasi adalah kemungkinan dalam rentetan perubahan yang diinginkan.
Model bersekutu (=bergereja) yang didasarkan pada budaya setempat, seperti makan patita, sangat dipahami oleh komunitas sehingga aktualisasi dan pergerakannya akan dipahami sebagai bagian dalam komunitas dan bukannya sesuatu yang asing dan hanya dicangkokan dalam komunitas bergereja di Maluku. Hal ini kelihatannya sepele namun bonding antara komunitas dengan nilai maupun bingkai struktur yang ditawarkan memberi nuansa dan daya lekat yang lebih kental.
V. PENUTUP
Upaya ini adalah upaya awal untuk meninjau terus-menerus proses bergereja dengan itikad untuk membangun persekutuan yang tidak mengalienasi suatu hal tertentu tetapi sebaliknya membangun kebersamaan yang pilar-pilarnya sudah ada dan berada di sekitar konteks kita sendiri. Banyak pula unsur budaya lainnya yang dapat dipakai terus dengan interpretasi yang dinamis untuk membangun kehidupan bersama.
[1] Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology (Orbis Books, 1992), hlm. 47-62. Dia mengemukakan beberapa model Teologi Kontekstual, di antaranya adalah “model antropologis” yang cocok sebagai pendekatan untuk memperlihatkan pertautan dan cara pandang yang tulus terhadap budaya manusia, termasuk yang selama ini disubordinasi oleh budaya Barat maupun Timur Tengah (sebagai lokasi awal penyebaran kanon Alkitab).
[2] Bahasa tanah adalah istilah yang umum dipakai untuk menyebut bahasa asli daerah-daerah di Maluku (Tengah).
[3] Cerita ini cukup berbeda dengan kesan yang saya sering dengar dan baca, yang menekankan kedekatan orang Maluku beragama Kristen dengan Belanda. Bahwa demi kenyamanan dan mendapatkan perlakuan istimewa maka bahasa yang sebaiknya dipergunakan adalah bahasa Melayu atau bahasa Belanda.
[4] Lih. Piero Ferruci, The Power of Kindness: The Unexpected Benefits of Leading a Compassionate Life (Penguin Group, 2007).
Diduga, ACA terjadi akibat kondisi polusi udara di perkotaan. "Sampai saat ini belum ditemukan penyebabnya (yang pasti). Virus dan bakteri yang dituding sebagai penyebabnya pun baru dugaan saja," jelas dr. Adi Sukrisno, Sp.OG.
"Kelainan ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal, keturunan. Bila dalam silsilah ada riwayat keguguran, garis wanita yang berada di bawahnya perlu lebih waspada. Apalagi jika kehamilan sebelumnya pernah mengalami keguguran berulang, janin mati dalam kandungan dan preeklampsia," kata dr. Adi.
Untungnya, ibu hamil yang mengidap ACA tidak melahirkan bayi cacat, seperti halnya jika terkena penyakit infeksi yang disebabkan toksoplasma.
Cepat lelah dan pusing
Dalam keadaan normal, antibodi sebetulnya merupakan kumpulan protein yang dibentuk oleh sistem kekebalan tubuh untuk memerangi substansi yang dianggap asing oleh tubuh (di antaranya bakteri, virus). Celakanya, tubuh salah menilai pada kehamilan ini.
Pada kasus ACA, persisnya tubuh mengeluarkan antibodi yang digunakan untuk menyerang anticardiolipin yang dianggap musuh, meski sebetulnya itu merupakan bagian dari membran. Kemunculan antibodi anticardiolipin inilah yang membuat darah individu jadi lebih kental. Antibodi ACA juga mendorong terjadinya trombosis atau pembekuan darah dalam pembuluh darah.
Bisa dibayangkan, gara-gara ACA organ-organ penting bisa terganggu fungsinya, semisal pembuluh darah arteri, vena, maupun jantung. Gawatnya lagi, jika terjadi pada ibu hamil, bekuan darah di plasenta akan mengganggu pasokan zat gizi dan oksigen bagi janin. Janin jadi tidak bisa berkembang atau meninggal dalam kandungan.
Bisa ditebak akibatnya, terjadi keguguran kandungan. Biasanya keguguran terjadi pada usia kehamilan 3 - 4 bulan. Ketidakberesan biasanya tak disadari, karena gejalanya mirip dengan yang biasa dialami ibu hamil. Semisal cepat mengantuk, cepat lelah, sering pusing, dan sulit konsentrasi. Namun setidaknya, masih ada tanda lain yang dapat dijadikan acuan, yaitu bila setelah lewat empat bulan, keluhan di atas tidak menghilang. Normalnya, lewat empat bulan keluhan itu hilang.
Gejala lainnya, tekanan darah meningkat tanpa penyebab pasti. Gejala itu makin menguatkan kecurigaan akan adanya ACA, jika sebelum hamil tekanan darah calon ibu normal saja.
Risiko kehadiran ACA terhadap janin tak bisa dipandang sebelah mata. Soalnya, kebutuhan pasokan makanan bagi janin akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia janin. Sementara di saat bersamaan, antibodi anticardiolipin yang terbentuk semakin banyak, sehingga pasokan zat gizi dan oksigen untuk janin semakin terhambat. Akibatnya, bisa saja sejak awal janin tak pernah terbentuk alias meninggal dalam periode embrio. Kalaupun mampu bertahan, berat badan bayi yang lahir rendah.
Perlu rajin kontrol
Bila ada kecurigaan adanya antibodi anticardiolipin dalam darah ibu yang mengalami keguguran berulang, ia dianjurkan menjalani tes ACA.
Melalui tes ini diketahui kadar IgG dan IgM. Parameter ini bisa dijadikan pegangan untuk memastikan adanya paparan ACA atau tidak.
Masih menurut dr. Adi, berdasarkan kadar ACA-nya, penderita ACA bisa digolongkan dalam tiga tingkatan. Tergolong mild jika IgGnya berkisar antara 15 - 20, moderate jika antara 20 - 80, dan high jika di atas 80. Sedangkan tingkat kekentalan darah bisa diketahui dengan mengukur cepat-tidaknya darah yang bersangkutan membeku.
"Kalau orang normal darahnya akan membeku dengan tolok ukur waktu 25 - 40 detik, maka pada penderita ACA bisa kurang dari 25 detik sudah membeku," terang dokter yang berpraktik di RS PELNI, Jakarta ini.
Setelah mengetahui positif terpapar ACA, selain ke dokter ahli kandungan, ibu hamil perlu juga memeriksakan diri secara teratur ke dokter ahli penyakit dalam untuk memantau kondisi darahnya. Setidaknya, dua kali lebih sering dibandingkan dengan kehamilan normal. "Biasanya sebelum tujuh bulan, ibu yang terpapar ACA perlu berkonsultasi dua minggu sekali. Di atas tujuh bulan, frekuensinya meningkat jadi seminggu sekali sampai menjelang persalinan," kata dokter yang bermukim di Cinere ini.
Ibu hamil yang terpapar ACA juga harus menjalani tes laboratorium enam minggu sekali. Dari hasilnya, dokter penyakit dalam akan mengetahui kadar antibodi anticardiolopin pasien dan akan memberikan pengobatan. Semakin tinggi kadarnya, kian besar pula risiko terjadinya keguguran. Jadi, semakin besar juga usaha yang diperlukan untuk menurunkan kadar antibodi itu.
Bila antibodi anticardiolipin masih dalam batas aman, pengobatan cukup dengan tablet sejenis aspirin (yang kemampuannya mempertahankan bayi hanya 40%). Pada pemeriksaan berikutnya, internis akan menilai respons pengobatan berdasarkan hasil laboratorium terbaru. Bila kadar antibodi anticardiolipin tetap atau meningkat, pemberian obat akan dibarengi dengan suntikan heparin atau fraksiparin maupun suntikan lain sejenis yang harus dilakukan setiap hari. Obat yang disuntikkan bukan bertujuan menurunkan antibodi anticardiolipin, melainkan menjaga agar antibodi tak menyebabkan trombosis alias pengentalan darah.
Suntikan itu relatif aman buat wanita hamil karena terbukti tidak menembus barier plasenta, hingga tak ada kemungkinan terserap janin ataupun mengganggu pertumbuhannya. "Suntikan sebaiknya dilakukan hingga setelah ibu melahirkan. Sebab, jangan sampai kejadian bayinya selamat, namun ibunya lupa dijaga kadar kekentalan darahnya," ujar dr. Adi, yang memperkirakaan biaya untuk terapi suntik ini bisa mencapai Rp 3,5 juta per bulan.
Dari penelitian yang pernah dilakukan dr. Karmel L. Tambunan terhadap 232 pasien ACA selama 1997 - 2001 diketahui, kombinasi terapi obat dan suntik mampu meningkatkan peluang kesembuhan ACA menjadi sekitar 74 - 96%. Hasil penelitian selama ini di Indonesia menunjukkan, 97% ibu hamil dengan ACA melahirkan bayi normal.
Bila terapi suntik harus dijalani, si ibu sendirilah yang melakukan penyuntikan di sekitar perut setiap hari. Atau, bisa juga dengan bantuan suami. Lewat terapi obat dan suntikan, darah diharapkan makin encer. Tentu dengan catatan, si ibu harus rajin kontrol dan teratur menjalani terapi.
Untuk proses persalinannya, pada dasarnya tak beda dengan ibu hamil lainnya. Si ibu tetap bisa melahirkan normal, jika memang tidak ada indikasi lain. Hanya saja, tim medis harus tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya pembekuan darah saat persalinan. Alasan ini pula yang dijadikan salah satu pertimbangan diperlukannya tindakan caesar. Terlebih jika terjadi persalinan lama atau lebih dari delapan jam.
Cukup Minum Encerkan Darah
Mengingat kehamilan dengan ACA termasuk kelompok kehamilan risiko tinggi, sebaiknya ibu hamil menjaga kehamilannya dengan ekstra hati-hati.
Ia mesti istirahat dalam durasi yang cukup, tidur delapan jam sehari, menurunkan stres, makan secara benar baik kualitas maupun kuantitas. Aktivitas lain bebas dilakukan asal tak membahayakan kehamilan.
Kendati belum diketahui makanan apa yang bisa membantu mengencerkan darah, ibu hamil dengan ACA amat dianjurkan mengonsumsi makanan yang serba alami. Pengawet dan menyedap masakan, juga junk food, sebaiknya dihindari. Tujuannya untuk meminimalkan benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Dianjurkan minum banyak air putih minimal dua liter sehari. Mereka yang jarang minum air putih dikhawatirkan darahnya semakin kental. Padahal tubuh tetap mengalami penguapan lewat keringat dan cairan melalui urine. Namun, itu tak berarti air putih bisa langsung mengencerkan darah penderita. *
Perjalanan peradaban memperlihatkan silih berganti pola-pola kepemimpinan yang turut mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh situasi. Dengan kata lain, pola-pola yang diterapkan tidaklah sama persis konsepsi dan aplikasinya namun sangat berhubungan dan dicirikan oleh konteksnya. Makna kepemimpinan barulah dapat dinilai secara wajar di dalam konteksnya.
Persoalan yang selalu muncul dalam kepemimpinan adalah membuat pilihan hidup bersama dalam tatanan yang membawa perubahan. Sekalipun demikian hal itu tidaklah selalu menjadi satu-satunya pilihan yang tepat karena kepemimpinan adalah gejala sosial yang rentan terhadap kecenderungan korupsi, manipulasi dengan pola relasi kekuasaan yang timpang maupun hirarkis dengan gap yang kaku. Individu maupun kelompok yang dominan cenderung berkeinginan melanggengkan kepemimpinannya dan imbas dari kecenderungan manusiawi itu adalah konflik, kekerasan, manipulasi, dan lain-lain. Sejarah dunia maupun sejarah persekutuan manusia tertentu (= gereja) memperlihatkan hal itu dengan ekses-ekses, baik yang dapat dilihat secara kasat mata maupun terselubung dengan rapatnya di dalam struktur dan sistem yang ada.
Gelutan ini membawa kita dalam pelajaran dari sejarah yang sangat berharga untuk terus mencari peluang-peluang yang masih ada bagi relasi manusia yang lebih bermartabat dalam perspektif apapun.
Menelisik definisi-definisi kepemimpinan secara tradisional
Sebagai suatu gejala sosial maka muatan substansi maupun bentuk kepemimpinan cukup bervariasi. Contoh yang dapat dilihat dengan gamblang adalah banyaknya definisi yang dibuat oleh akademisi berhubungan dengan sudut pandangnya. Stogdill (1974: 259) menyimpulkan bahwa terdapat hampir sama banyaknya definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Lebih lanjut, Stogdill (1974: 7-17) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai konsep manajemen dapat dirumuskan dalam berbagai macam definisi, tergantung dari mana titik tolak pemikirannya.
Banyak sekali definisi kepemimpinan yang sudah dibuat, misalnya: dengan mengutip pendapat beberapa ahli, Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard (1977: 83-84) mengemukakan beberapa definisi kepemimpinan, antara lain:
Untuk lebih mendalami pengertian kepemimpinan, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi kepemimpinan lainnya seperti yang dikutip oleh Gary Yukl (1996: 2), antara lain:
Menurut Wahjosumidjo, butir-butir pengertian dari berbagai definisi kepemimpinan, pada hakekatnya memberikan makna:[1]
Dari sudut pandang yang terlihat dapat dicatat minimal tiga hal, yakni:
Hal-hal di atas memperlihatkan kecenderungan yang timpang terhadap akses kelompok yang dipimpin dan yang dianggap tidak bisa memimpin dan juga figur di belakang sang tokoh pemimpin.
Dalam konteks Indonesia pun, yang menjadi sentral adalah sang pemimpin dan kepemimpinan itu di back up dengan sangat kaku oleh norma yang sering diperkuat pula oleh formula-formula penghukuman dari pihak transenden atau yang disebut Max Weber sebagai Otoritas Rasional, yaitu legitimasi kepemimpinan yang didasarkan pada otoritas yang berbasis prinsip-prinsip (konsep-konsep) yang rasional (nalar), sebagai basis sistem pengukuhannya dan Otoritas Tradisional, yaitu legitimasi kepemimpinan yang didasarkan pada otoritas pengakuan masyarakat secara tradisional dan melembaga. Sedangkan Otoritas Karismatik, yaitu legitimasi kepemimpinan yang didasarkan otoritas kharisma, sebagai kelebihan kemampuan yang melekat pada seseorang, yang tidak dipunyai oleh orang lain kemudian tenggelam dalam pertarungan internal dengan partai dan lembaga-lembaga legislatif saja. Wakil rakyat disamakan dengan rakyat dan rakyat diposisikan sebagai penonton dalam kancah itu.
Pengaruh kepemimpinan paling dominan terlihat pada fase sebelum dan proses menjadi pemimpinan namun setelah itu pengaruh itu tidak terlalu berpengaruh lagi karena back up yang cukup kuat dari norma dan birokrasi.Lalu yang agak aneh, pola hubungan yang hirarkis disahkan begitu saja dan posisi pemimpin menjadi sangat kuat bukan karena upaya untuk mempengaruhi rakyat dengan pola hubungan dialogis namun oleh tradisi kepemimpinan yang kaku dan baku.
Mencari dari Hasil Refleksi dan Aksi: Adakah Hubungannya dengan Gender?
Dalam bagian ini, tidak ada maksud membuat perbandingan terhadap masa lalu. Yang ada adalah upaya belajar untuk menghayati konteks dengan jujur. Dengan demikian kiprah masa kini tidak terpasung dalam romantisme masa lalu maupun sebaliknya keengganan untuk belajar dari masa lalu sebagai guru yang baik itu.
Dari kenyataan yang di
Beban-beban itu diklasifikasi Mansur Fakih[2] sebagai berikut:
Sekalipun dalam kenyataan sejarah banyak sekali perempuan yang menjadi pemimpin suku, agama, tokoh kemerdekaan, pahlawan anti penjajahan di daerah-daerah. Terlihat masih terdapat keberatan-keberatan sepihak terhadap kekayaan nilai dan substansi kepemimpinan kelompok yang selama ini hanya dipimpin, sedangkan pada pihak lain kenyataan dunia memperlihatkan bahwa pergumulan dunia tidak cukup untuk dicari jalan keluar hanya dengan kenderungan pola dan kearifan kepemimpinan dari yang selama ini disebut kelompok dominan (keturunan tertentu - raja, bangsawan, dll), kelompok dewasa, masyarakat dari ras, etis, agama, sex tertentu, serta kegagalan di mana-mana karena pola-pola kepemimpinan yang terapkan oleh kelompok dominan bahwa disertai dengan gejala-gejala peghancuran dunia yang baru. Kita sampai pada kesimpulan bahwa: inspirasi dari pengalaman, pengetahuan serta kebijaksanaan kelompok yang selama ini rela dipimpin tenyata harus masuk dalam mainstreaming kepemimpinan di mana-mana. Secara khusus kaum perempuan dari berbagai lapisan, tempat, dan ras dari masyarakat dan juga laki-laki dari lapisan bawah, anak-anak laki-laki dan perempuan, laki-laki dan perempuan yang miskin, dari agama tertentu yang minoritas, dan lain-lain.
Saya sampai pada keyakinan bahwa masalah gender berhubungan erat dengan kepemimpinan. Menurut hasil penelitian beberapa hasil, terdapat bukti-bukti bahwa sekalipun proporsi perempuan dalam posisi-posisi manajer meningkat tetapi tetap saja terdapat keraguan mengenai keahlian kepemimpinan perempuan (Still, 1997) dan laki-laki (khususnya manajer) masih terus mendefinisikan manajemen dalam istilah-istilah laki laki. (Brenner, Tomkiewicz, & Schein, 1989; Heilmann, Block, Martell, & Simon, 1989; Schein & Mueller, 1992).
Sally A. Carless mencatat beberapa hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa perbedaan gender telah merupakan salah satu penghambat posisi perempuan dalam kepemimpinan, antara lain yang dilakukan oleh Bass pada tahun 1990. Kemudian terjadi perkembangan dari hasil studi Slowly pada tahun 1990 serta Eagly dan Johnson yang mampu melokasikan 162
Oleh karena itu, berbicara tentang kepemimpinan mestilah berbicara tentang hubungan gender. Beberapa hasil penelitian yang dapat membuktikan hal itu misalnya:
1. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam The Asian Pacific American Women’s Leadership Institute (APAWLI) menyatakan dari hasil penelitiannya, bahwa cara-cara yang penting menurut kaum perempuan ini adalah: cara-cara inklusif, kolaborasi, membangun konsensus, kepemimpinan yang didasarkan pada prinsip-prinsip, hubungan dan pelayanan etis. Dimensi-dimensi dari cara memimpin seperti di atas adalah:
2. Hasil penelitian Judy Rosener "Ways Women Lead,", yang dikutip Laraine R. Matusak, terungkap bahwa:[3]
that men usually describe themselves in ways that characterize "transactional leaders." They see their jobs as a series of transactions with subordinates in which rewards are exchanged for services. They are more likely than women to use power that comes from their organizational position and formal authority.
Rosener says that women, on the other hand, tend to describe themselves in ways that characterize "transformational leaders." As she interviewed women leaders, she found ways that they tend to share power and information, encourage participation, enhance other people’s self worth, and get others excited about their work. Persons who work with them are encouraged to contribute in order to feel powerful and important.
Dalam perjumpaan yang kontekstual, ternyata terdapat beberapa dimensi baru ditampilkan sebagai hasil dari pengalaman dan refleksi. Secara khusus memposisikan kelompok yang selama ini disubordinasi dan dipinggirkan dalam kancah kepemimpinan masyarakat sebagai kelompok yang memiliki keunikan spiritualitas yang dapat memberikan horison lain tentang kepemimpinan. Terlihat di atas adalah kaum perempuan. Terdapat juga kelompok lain, yakni kelompok masyarakat biasa, masyarakat mskin dan secara khusus kelompok perempuan.
Kelompok ini meliputi 80% dari jumlah penduduk di
Kelompok ini adalah bagian dari realita masyarakat Asia, termasuk
Satu hal yang bisa dilaksanakan saat ini adalah belajar dari kelompok ini tentang dimensi-dimensi baru dari kepemimpinan yang layak untuk dipakai sebagai bagian integral dari paradigma kepemimpinan yang kontekstual.
Kenyataan dalam Alkitab tentang Kepemimpinan Perempuan
Bagian ini sengaja tidak ditempatkan di bagian awal tulisan dengan tujuan supaya kenyataan apa adanya ditampilkan dan Alkitab tidak menjadi ukuran untuk hal ini. Namun jika kita mau menelusurinya juga, maka terdapat sumber-sumber berita dan tafsiran yang menyatakan kepemimpinan perempuan dalam posisi-posisi kunci.
Karen L. King melihat peran yang sangat penting dalam sejarah kepemimpinan perempuan sebagai berikut:
Maria Magdalena adalah benar-benar figur yang berpengaruh, tetapi sebagai seorang murid terkemuka di salah satu sayap gerakan Kristen mula-mula yang mempromosikan kepemimpinan perempuan. Menurutnya, beberapa ahli bahkan menyatakan bahwa mayoritas orang Kristen pada abad pertama adalah perempuan. Dalam surat-surat Paulus disebut nama: Prisca, Junia, Julia, and saudara perempuan Nereus, yang bekerja dan melakukan perjalanan misi sebagai rekan dari suami atau kakak laki lakinya (Roma 16:3, 7, 15). Euodia dan Sintikhe disebut pekerja Injil (Filipi 4:2-3). Beberapa pendiri jemaat rumah, sebuah strategi berhubungan peraturan di Roma yang menganggap kekristanan bukan hal yang legal. (Apfia di Filemon 2; Priska di I Korintus 16:19). Juga Lidia dari Tiatira (Kis.16:14) dan Nimfa dari Laodikia (Kolose 4:15). Juga menangani administrasi dan penyembahan, pelayanan dan nubuatan (Roma 16:1, I Korintus 11). Tidak hanya hal-hal estetika tetapi juga khotbah umum, pengajaran, pemimpin doa, pelayan perjamuan (A later first century work, called the Didache, assumes that this duty fell regularly to Christian prophets).
Dari sebagian kecil ini saja dapat kita lihat bahwa permasalahan tentang kepemimpinan perempuan terletak pada:
Persoalan kepememimpinan dalam perspektif teologis dapat dikembangkan sehingga teologi gereja membuka peluang bagi partisipasi semua orang membanguna dunia, dan bukannya menutur ruang bagi kehidupan berbagi yang lebih bermartabat.
Membuat Definisi Kepemimpinan dari Pengalaman Perempuan
Dalam bagian ini saya mencoba mengangkat dimensi-dimensi yang penting, belajar dari paparan di atas antara lain:
[1] Wahyosumidjo (1984), hal. 26.
[2] Mansur Fakih, Gender dan Seksualitas,
[3] Judy B. Rosener, "Ways Women Lead." Harvard Business Review. Cambridge, MA: Harvard University Graduate School of Business, November-December 1990, p. 125 dalam Larraine R. Matusak, et.al., (eds.), Leadership: Gender Related, Not Gender Specific, (Concepts, Challenges, and Realities of Leadership: An International Perspective. Selected Proceedings from the
![]() ![]() US President Franklin D. Roosevelt Forbids Hoarding of Gold (1933)Executive Order 6102 required US citizens and businesses to turn in all but a small amount of gold to the Federal Reserve in exchange for $20.67 per ounce. It came in the midst of a banking crisis, when the stability of paper currency was in doubt. Consequently, many tried to withdraw their money and redeem it for gold, which was considered safer. However, there simply was not enough gold in the US—or the world—to cover the nation's debts. How many people were prosecuted for violating the order? More... Discuss |
![]() ![]() Lucy Maud Montgomery (1874-1942) Discuss |